LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Matakuliah
Landasan Pendidikan
Dosen Pengampu :
Marzuki Mahmud, M.Pd
Oleh:
KELOMPOK
9
Diah Fajriah Syafa’ati Majid 1112015000008
Mega Dhaniswara Arifa 1112015000019
Ryan Arpan Ansori 1112015000065
Nurwidi Oktaria 1112015000076
Fakhrurozi 1112015000095
Dessy 1112015000105
Muhammad Iqbal Muharram 1112015000107
PROGRAM STUDI
EKONOMI-AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara
umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan
luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan
datang.
Tujuan
pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang
Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar,
tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos
kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai.
Pendidikan
Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak Indonesia
mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan kelanjutan dari cita-cita
dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat masih
menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini.
Dalam
proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami berbagai
perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal
yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bisa
berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu.
Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah
merdeka adalah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adalah
dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda.
Pengambil alihan
sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa sistem
tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan perkembangan pendidikan yang
kita kehendaki.
Setelah
kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu,
kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan
tuntutan perkembangan zaman.
Proses
pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak mengajarkan kepada kita
untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan politik nasional dan
internasional, perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan peran yang
dimainkan bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak
mendorong kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
menjadi landasan historis pendidikan nasional Indonesia?
2.
Bagaimana Sejarah Pendidikan di Dunia?
3.
Bagaimana
Sejarah Pendidikan di Indonesia?
4.
Apa implikasi
konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis ini?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
apa itu landasan pendidikan historis
2. Mengetahui serta memahami tentang Sejarah
Pendidikan Dunia.
3.
Mengetahui serta memahami tentang Sejarah Pendidikan Indonesia.
4.
Mengetahui
konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan
Historis
Sejarah
atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau
kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala
kejadian dalam alam ini, termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budidaya
manusia. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian,
model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya pada
masa lampau.[1]
Generasi
muda dapat belajar dari informasi-informasi ini terutama tentang
kejadian-kejadian masa lampau dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan
diri mereka. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka
dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu
sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.
Misalnya,
Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka
telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan
tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar
pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang,
sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem
pendidikan kolonial.[2]
Dengan
kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional
Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif.[3]
Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan
pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang
lampau.
Perjalanan
sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan semenjak jauh sebelum
kita mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai aktivitas
intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk
membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh
bermacam-macam corak. Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan sistem
politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah
mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat
dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan
pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran
yang hampir sama tentang pendidikan, yaitu pendidikan diarahkan pada optimasi
upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa.[4]
Di
samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi
berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai
institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas
yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM
Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya
sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia.[5]
Dengan
demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada
umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang
lampau. Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan
merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.[6]
Perjalanan
sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme
(150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance
serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun pendidikan pada
zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang.[7]
Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini
membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2)
Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6)
Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
B. Sejarah
Pendidikan Dunia
1. Zaman Realisme
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah
baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan
dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak
berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran
yang praktis.[8]
Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui
penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan.[9]
Tokoh-tokoh
pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
a.
Pendidikan
lebih dihargai daripada pengajaran,
b.
Pendidikan
harus menekankan aktivitas sendiri,
c.
Penanaman
pengertian lebih penting daripada hafalan,
d.
Pelajaran
disesuaikan dengan perkembangan anak,
e.
Pelajaran
harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
f.
Pengetahuan
diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta
khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus
belajar dari realita alam,
g.
Pendidikan
bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk
belajar.[10]
2.
Zaman
Rasionalisme
Aliran
ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak
untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan
bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan
akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan
absolut.
Tokoh
pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang
terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di
atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya
manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang
membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti
intelektualisme, individualisme, dan materialisme.[11]
3.
Zaman
Naturalisme
Sebagai
reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran
Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan
yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara
kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan
dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam).[12]
Naturalisme menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya,
dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri.[13]
4.
Zaman
Developmentalisme
Zaman
Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut
gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi,
Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
a.
Mengaktualisasi
semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang
harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
b.
Pengembangan
ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak yang melalui
observasi dan eksperimen.[14]
c.
Pendidikan
adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik
(nurture).
d.
Pengembangan
pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan
universal.[15]
5.
Zaman
Nasionalisme
Zaman
nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot
bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La
Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep
pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
a.
Menjaga,
memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
b.
Mengutamakan
pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
c.
Materi
pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan
kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan
pendidikan jasmani.
Akibat
negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu
kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa
Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I.[16]
6.
Zaman
Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini
lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat
untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang
ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang
berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme
percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan
terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte.[17]
7.
Zaman
Sosialisme
Aliran
sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak
liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul
Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey. Menurut aliran ini, masyarakat
memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak
ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus
diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial.[18]
C.
Sejarah
Pendidikan Indonesia
Pendidikan
di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada
sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan
Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka.[19]
Berikut
ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1.
Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme
and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme
merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki
kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa
dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada
lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara
etimologis berasal dari keyakinan tersebut.[20]
Tujuan
pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan
dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan
Budha.[21]
2. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam
mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar
Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan
dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun
sebagai arus kebudayaan.[22]
Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan
pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi
sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[23]
Pendidikan
Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak
diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu
dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan
di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol
adalah di daerah Minangkabau.[24]
5.
Zaman
Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa
Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan
Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai
bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan
dan perniagaan.[25]
Di
samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold),
bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan
agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya
pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu
dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja
di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605.[26]
Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris
Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam
menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde
ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala
sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan.[27]
Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan
pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam sama di
mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang
ampuh untuk penyebaran agama.[28]
Sedangkan
pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali
tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari
rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah
Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost
Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602.[29]
Sikap
VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan
Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang
bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh
VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah
berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk
melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan,
Calvinisme.[30]
6.
Zaman
Kolonial Belanda
VOC
pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh
Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya.
Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis
politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di
tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda.[31]
Pada
tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral
dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena
pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal
aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa
pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak
mempengaruhi mereka.[32]
Oleh
karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide
liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual,
nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan
untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah
tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah
lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak
Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap
liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia.[33]
Pada
tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang
Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar
pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini
kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang
mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan. Di samping itu, Van
Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang
menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi
yang lainnya.[34]
Sejak
dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang
pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini
meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain
anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah
menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan
baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan
yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya
Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu
tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch
Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan
Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya
mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka.[35]
7.
Zaman
Kolonial Jepang
Perjuangan
bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita
untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan
alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan
semangat 45 di hati mereka.
Meskipun
demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di
bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah
Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang.
Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang
untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam
pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi
Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia
menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia
.
8.
Zaman
Kemerdekaan (Awal)
Setelah
Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini
karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai
Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu
bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana
mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan
pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan.
Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang
terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan
yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat
dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak
pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak
dapat bersekolah.
9.
Zaman
Orde Lama
Setelah
gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai
digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik
spiritual maupun material.
Setelah
diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas:
Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan
harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung
jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk
tiap-tiap penduduk negara.
Di
samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat
membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di
dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang
ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi
Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat
Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme,
mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah
perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi.[36]
10. Zaman Orde Baru
Orde
Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan
pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde
Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut
Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.[37]
Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila
secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata
pelajaran di setiap jenjang pendidikan.[38]
Di
samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang
pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional
dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar.[39]
Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan
yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada
pemerintah pusat.
Namun
demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa
kesenjangan. Buchori mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan
okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik
(pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada
pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan
teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang
dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun
demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1)
kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan
kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat.[40]
9. Masa
Refomasi
Sebelum
memulai uraian tentang masa reformasi, ada baiknya mengkaji kembali masa
Pembangunan secara global agar uraian bisa bersambung dengan baik. Masa
Pembangunan yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir pada tahun 1998 ditandai
dengan hal-hal berikut : (1) tampak ada semacam rezim yang dapat melakukan
hampir semua yang mereka inginkan, karena hampir tidak ada orang yang berani
melakukan pertentangan, (2) rezim ini memiliki motor politik yang sangat kuat
yaitu Golkar, (3) sehingga tampak tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk
melakukan sesuatu.
Begitu
orde baru jatuh pada tahun 1998, tampak masyarakat seolah-olah meledak
kegirangan karena merasa belenggu yang mengikat mereka sudah hilang. Mereka
merasa bebas, bebas sebebas bebasnya seperti burung baru lepas dari sangkarnya.
Mereka menyerukan reformasi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Demikianlah pada awal reformasi ini lebih banyak tampak tindakan menuntut
kebebasan dibandingkan dengan program reformasiitu sendiri. Seolah-olah bangsa
ini melakukan inovasi tanpa program yang jelas.
Reformasi
pada awal ini lebih banyak bersifat mengejar kebebasan. Demotrasi-demontrasi
sering terjadi untuk menuntut keadilan, hak, dan pembelaaan diri. Partai-partai
politik muncul tanpa dapat dibendung sampai puluhan jumlahnya masing-masing
dengan aspirasinya sendiri-sendiri. Kebebasan untuk menikmati budaya dan
kesenian asing juga semakin menjadi-jadi. Pemerintah merasa kewalahan untuk
membendung budaya yang tidak sejalan dengan budaya bangsa ini. Sampai-sampai
orang-orang daerah juga mulai berani bergerak memperjuangkan idenya yang
sebelumnya terpendam dalam hati, yang menimbulkan pemberontakan di Aceh, Papua,
Ambon dan Poso.
Sementara
itu ekonomi semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, penduduk miskin
semakin luas yang semuanya memberi peluang untuk berbuat berbagai kejahatan.
Korupsi semakin hebat, sangat sulit diberantas, sebab hukum yang bertugas
memberantas juga dalam keadaan terinjak-injak. Walaupun gambaran reformasi pada
awalnya serba negatif, namun lambat laun keadaan bisa berubah secara perlahan-lahan. Sistem
pendidikan mulai berubah, yang didahului oleh perubahanUndang-Undang Pendidikan.
Undang-Undang Pendidikan yang baru menginginkan sistem pendidikan sentralisasi
berubah menjadi sistem desentralisasi, hal ini sejalan dengan perubahan sistem
pemerintah yang juga menjadi desentralisasi.
Sistem
desentralisasi pendidikan belum berada pada tingkat lembaga, kecuali perguruan
tinggi, melainkan baru pada tingkat kabupaten atau kota. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan personalia pendidikan belum memadai. Belum cukup waktu untuk
membina personalia agar cakap mengoperasikan sistem yang baru ini. Kelemahan
ini diperparah lagi dengan adanya pemindahan pegawai pendidikan secara
besar-besaran dari pemerintahan pusat ke daerah dan dari provinsi ke kabupaten
atau kota. Mereka semua harus ditempatkan, sementara keahlian mereka belum
tentu cocok untuk keperluan sistem yang baru ini.
Pemerintahan
juga menciptakan kelompok-kelompok masyarakat yang independen atau bebas untk
membantu pendidikan agar mampu mandiri. Kelompok-kelompok itu ada ditingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota yang disebut Dewan Pendidikan.
Sedangkan kelompok sejenis yang bertugas membantu sekolah disebut Komite
Sekolah. Jadi, kelopok-kelompok bebas ini merupakan partner kerja sama antara
kantor dan lembaga pendidikan dengan masyarkat setempat.
Disamping
itu pemerintah juga mengubah istilah pendidikan sekolah dan pendidikan luar
sekolah menjadi pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal. Mungkin
maksudnya agar macam-macam pendidikan dapat ditangani secara lebih intensif.
Sebab diyakini ketiga jalur pendidikan itu memegang peranan yang sama
pentingnya bagi perkembangan peserta didik dan warga belajar. Pendidikan
nonformal sangat berperan dalam mengembangkan keterampilan warga belajar untuk
mampu bekerja di masyarakat. Sementara itu pendidikan informal di masyarakat
dan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan afeksi atau kepribadian,
sikap, moral dan mental anak-anak. Namun dalam kenyataan pendidikan nonformal
bau ditangani sedikit dan pendidikan informal hampir belum tersentuh oleh
ahli-ahli pendidikan untuk dikembangkan.
Secara
konsep sistem desentralisasi pendidikan memang lebih baik daripada sentralisasi
pendidikan. Sebab sistem yang baru ini kalau dilaksanakan dengan baik akan
dapat memajukan daerah masing-masing sesuai dengan kondisi geografis, budaya,
kebutuhan, dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan di masa depan. Namun
sayang, realisasi cita-cita sistem desentralisasi ini belum tampak secara
nyata. Dia baru tampak secara konsep. Mungkin hal ini disebabkan oleh kelemahan
personalia pendidikan seperti telah diutarakan diatas. Disamping itu faktor
dana pendidikan yang masih kecil, ikut memicu keterlambatan keberhasilan sistem
desentralisasi pendidikan ini. Pemerintah dan masyarakat tetap menaruh harapan
besar agar kelak dikemudian hari sistem ini dapat menjadi tulang punggung
perkembangan bangsa dan negara.
Instrumen-instrumen
untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga sudah diusahakan, seperti MBS
(manajemen berbasis sekolah), Life Skills (lima keterampilan hidup), dan TQM
(total quality management). Tetapi nasibnya masih sama dengan wujud desentralisasi
pendidikan, yaitu mash lebih besar penampakan konsep daripada pelaksanaannya.
Hal ini juga disebabkan oleh dua kelemahan utama tersebut diatas, yaitu
kekurangmampuan personalia dan kekurangan dana.
Namun,
bangsa Indonesia masih sangat beruntung karena kesadaran masyarakat untuk
beragama masih tinggi. Dimana-mana tampak masih banyak orang melaksanakan
ibadah, agama apapun yang mereka anut. Dalam pendidikan agama juga sudah tampak
ada perkembangan yang menggembirakan. Beberapa daerah sudah mengubah paradigma
pendidikan agama. Kalau dahulu penekanan dan penilaian pada penguasaan materi,
maka kini bersama-sama dengan pendidikan afeksi yang lain seperti PPKn,
Pancasila, dan sebagainya menekankan pada perilaku anak-anak pada setiap hari.
Perilaku ini dinilai dan dimasukkan ke dalam raport. Pendidikan afeksi ini
tidak hanya dilakukan oleh guru Agama, guru PPKn termasuk Pancasila, tetapi
juga oleh semua guru pada setiap kali mereka mengajar. Pada setiap ada
kesempatan yang tepat pendidikan afeksi ini ditanamkan kepada anak-anak.
Sejalan
dengan jatuhnya Orde Baru, Penataran P4 juga mulai hilang. Sebab :
1) Walaupun orang berkali-kali ditatar P4
perilaku mereka tetap tidak berubah, karena tekanan penataran adalah pada
penguasaan materi, afeksi sama sekali tidak diperhatikan, dan
2) P4 pada hakikatnya adalah wujud
indoktrinasi karena petugas dan pengikut penataran tidak boleh menyimpang
sedikitpun dari buku pintar itu. Tidak ada kesempatan mengembangkan kreativitas
dan wawasan.
Karena
tekanan tidak ada dan indoktrinasi sudah hilang, maka demokrasi pun mulai
berkembang dikalangan masyarakat. Setiap organisasi apapun sifat dan bentuknya
berusaha menerapkan demokrasi dalam praktik sehari-hari, walaupun masih ada
beberapa yang bertahan pada sistem paternalis karena tradisi dan karismatik
ketuanya. Para anggota orgnisasi diberi kesempatan mengeluarkan pendapat,
keputusan-keputusan diambil secara demokratis, dan pemilihan pejabat-pejabat
baru juga dilakukan secara demokratis. Puncak perkembangan demokrasi dapat
dilihat dari keberhasilan pemilihan umum dan pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat pada tahun 2004. Proses pemilihan itu berlangsung aman, lancar, dan
sukses dengan tidak ada rintangan yang ada berarti.
Kelemahan-kelemahan
masa reformasi sampai saat ini adalah sebagai berikut :
1) Ekonomi bertambah terpuruk, walaupun
pemerintah tetap memprioritaskan pembangunan ini. Hal ini dipicu oleh kenaikan
harga BBM.
2) Korupsi masih banyak terjadi walaupun
pemerintah berusaha keras untuk memberantasnya.
3) Hukum belum benar-benar ditegakkan.
4) Kekacauan tampak meluas, terutama di
kota-kota besar, berbagai macam demontrasi terjadi.
5) Terorisme dan narkoba juga belum bisa
dibersihkan, walaupun pemerintah sudah berusaha keras membasminya.
Namun
demikian, masa reformasi ini banyak juga aspek positifnya seperti :
1) Sistem desentralisai pemerintahan dan
pendidikan mulai dibangun.
2) Nilai-nilai keagamaan tetap terjunjung
tinggi.
3) Demokrasi pada banyak sektor mulai
menampakkan diri.
4) Pemberontakan-pemberontakan di daerah
bengangsur-angsur dapat diatasi.
5) Pemilihan langsung oleh rakyat mulai dan
dapat terlaksana.[41]
D. Implikasi
Konsep Pendidikan
Masa
lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang
kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam
sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu Pembahasan tentang
landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai
berikut:
1.
Pendidikan
diharapkan bertujuan dan mampu:
a.
Mengembangkan
berbagai macam potensi peserta didik.
b.
Mengembangkan
kepribadian mereka secara lebih harmonis.
c.
Memberi
kebebasan kepada anak dalam mengembangkan semua aspek dirinya secara wajar.
d.
Mengembangkan
bakat masing-masing.
e.
Mengemabangkan
aspek kemanusiaan.
f.
Mengembangkan
rasa kebangsaan dan aspek kemasyarakatan.
g.
Membuat anak
bisa hidup mandiri.
h.
Membuat anak
menghargai dan bersedia dengan kasar.
2.
Proses
belajar mengajar dan materi pelajaran diharapkan :
a.
Materi
pelajaran sesuai dengan perkembangan anak
b.
Belajar
dengan alat-alat peraga
c.
Latihan
dipandang penting disamping pemahaman
d.
Guru harus
mengabdi untuk anak-anak
3.
Melaksanakan
metode global untuk pelajaran bahasa.
4.
Memberikan
pelajaran dalam bentuk tugas-tugas.
5.
Khusus dalam
bidang keilmuan :
a.
Anak-anak
harus aktif mencari sendiri
b.
Dicari di
lapangan.
c.
Dengan metode
induktif.
6.
Pendidikan
Agama, nilai-nilai kebudayaan termasuk semangat 45 perlu diintensifkan. Hal itu
tidak cukup diberikan dalam bidang studi saja, melainkan harus diperluas kepada
bidang-bidang studi lain secara integratif. Dengan demikian bahwa ciri utama
pendidikan di Indonesia adalah keseimbangan antara aspek materiil dan spiritual
yang akan tercapai.
7.
Proses
pendidikan diupayakan mengacu kepada perbedaan individual anak-anak.
8.
Demokratisasi
dalam pendidikan yaitu semua anak mendapat hak yang sama untuk belajar.
9.
Pendidikan
pada era globalisasi haruslah berintikan pada pengenmbangan ilmu teknologi.
10. Inovasi harusbersumber dari hasil-hasil penelitian
pendidikan di Indonesia, bukan berdasarkan konsep-konsep dari dunia Barat.
Sejumlah inovasi diharapkan bermuara pada terbentuknya konsep atau teori
pendidikan yang bercirikan Indonesia.
11. Tanggung jawab bersama tentang pendidikan antara
keluarga, masyarakat, dan pemerintah belum terealisasi secara keseluruhan.
12. Pendidikan dipandang penting untuk memajukan
negara.
13. Kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya
daerah harus menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya
global.
14. Desentralisasi pendidikan tetap diperlukan.[42]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat
menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda
satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan
mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada
mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya,
tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu,
pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan
segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi
kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan
demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator,
orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan
meningkatkan peradaban manusia.
Pendidikan
mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki
nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi
penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang.
[1] Pengertian Landasan Historis : Pirdata, Made.2009 Landasan
Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[2] Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New Role
for Higher Education Institutions. Paris: UNESCO.
[3] Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta:
IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
[4] Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta
di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
[5] Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
[6] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[7] Pidarta, 2007: 110
[8] Pidarta, 2007: 111-114
[9] Mudyahardjo, 2008: 117
[10] ibid.: 111-114
[11] ibid.: 114-115
[12] ibid.: 115-116
[13] Mudyaharjo, 2008: 118
[14] Pidarta, 2007: 116-200
[15] Mudyaharjo, 2008: 114
[16] Pidarta, 2007: 120-210
[17] ibid.: 121
[18] ibid.: 121-24
[19] ibid.: 125
[20] Mudyahardja, 2008: 215
[21] ibid.: 217
[22] ibid.: 221
[23] ibid.: 223
[24] ibid.: 228
[25] Mudyahardjo, 2008: 242
[26] Nasution, 2008: 4
[27] Mudyahardjo, 2008: 243
[28] Nasution, 2008: 4
[29] Mudyahardjo, 2008: 245
[30] Nasution, 2008: 4-5
[31] ibid.: 3
[32] ibid.: 8
[33] ibid.: 10-13
[34] ibid.: 16-17
[35] Pidarta, 2008: 125-33
[36] Mudyahardjo, 2008: 403
[37] Ibid.: 422, 433
[38] ibid.: 434
[39] Pidarta, 2008: 137-138
[40] Pidarta, 2008: 141
[41] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[42] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar