Pengantar Studi Islam
Sejarah Timbulnya Aliran Teologi dalam
Islam
Makalah
ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam
Disusun
oleh:
Diah
Fajriah S.M (1112015000008)
Dosen
Pengampu :
Dr.
Zaimudin, M.Ag
PROGRAM STUDI
EKONOMI-AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Kata
Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan taufiknya shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dan cahaya petunjuk bagi umat islam
sedunia. Semoga syafa’atnya mengiringi kita di hari akhir kita nanti amin..
sehingga dengan izin-Nya saya dapat menyusun sebuah tugas makalah mata kuliah
Pengantar Studi Islam.
Makalah ini saya susun sebagai bukti pertanggung jawaban saya kepada bapak
pembimbing mata kuliah Pengantar Studi Islam. Makalah ini juga saya
persembahkan kepada beliau untuk dapat menjadikan salah satu acuan pembelajaran
selanjutnya.
Terima
kasih kepada pihak yang terkait dengan penyusunan makalah ini sehingga pepatah
mengatakan “Tiada gading yang tak retak” sehingga
kritik dan perbaikan serta penilaian terhadap makalah ini sangat kami butuhkan.
Mohon maaf apabila ditemukan beberapa kesalahan yang bersifat teknik
maupun dalam bentuk tulisan dan ejaan. Semoga bermanfaat.
Jakarta, 13
April 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………...………………………………..........….... i
Daftar
Isi…………………………...…………………………………………………............ ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………..……………………………….......….. iii
Tujuan
……………………………………………………………….........… iv
BAB
II ISI
Aliran Teologi
Dalam Islam
1. Pengertian Teologi dalam Islam
................................................................ 1
2. Sejarah Timbulnya Teologi dalam Islam ..................................................
3
3. Aliran Teologi dalam Islam .....................................................................
7
a.
Aliran Syiah
...................................................................................
7
b.
Aliran Khawarij
..............................................................................8
c. Aliran Murji’ah
............................................................................ 11
d. Aliran Mu’tazilah .........................................................................
13
e. Aliran Qadariah.............................................................................
16
f. Aliran Jabariah .............................................................................
18
g. Ahlussunah Wal Jama’ah .............................................................
25
BAB III PENUTUP
a.
Kesimpulan
………………………………………………………….........…. v
b.
Saran
………………………………………..………………………....…...... vi
Daftar
Pustaka ……………………………………………………………………........…… vii
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN THEOLOGI DALAM ISLAM
1.
PENGERTIAN
TEOLOGI ISLAM
Akhir-akhir ini banyak sekali aliran-aliran
islam, khususnya di Indonesia. Seperti contoh aliran Ahmadiyah, yang oleh
kelompok islam garis keras dihancurkan tempat peribadatannya dan oleh MUI dikatakan
sebagai aliran sesat. Dan apakah seperti itu yang bisa disebut aliran teologi
dalam islam. Ternyata tidak semudah itu untuk disebut sebagai teologi Islam.
Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita akan membahas dulu tentang pengertian
teologi Islam.
Ada banyak sekali pengertian
mengenai teologi Islam menurut beberapa pemikir. Diantaranya dari Fergilius Ferm
yaitu seorang ahli Ilmu agama mengatakan : The disclipine which concern god (or
the Deviniti Reality) and Gods relation to the world (teologi ialah pemikiran
sistematis yang berhubungan dengan alam semesta). Tetapi menurut segi Etimologi
atau bahasa maupun Terminologi atau Istilah. Teologi terdiri atas dua kata
yaitu Theos yang artinya tuhan dan liogos yang artinya Ilmu. Jadi teologi bisa
disebut juga dengan Ilmu tuhan atau disebut ilmu ketuhanan.
Dalam istilah Arab
ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al-Din dan oleh karena itu buku
yang membahas soal-soal teologi dalam islam selalu diberi nama Kitab Usul
al-Din oleh pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id
credos atau keyakinan-keyakinan dan buku-buku yang mengupas
keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-‘aqa’id seperti Al-‘Aqa’id
Al-Nasafiah dan Al-‘Aqa’id al-‘Adudiah.
Teologi dalam Islam disebut juga ‘ilmu al-tawhid. Kata
tawhid mengandung arti satu atau Esa dan Ke-Esaan dalam pandangan Islam,
sebagai agama monotheisme, merupakan sifat yang terpenting diantara segala
sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam.
Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka
Teologi dalam Islam disebut ‘ilm al-kalam, karena soal kalam, sabda
Tuhan atau Al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras
dikalangan umat Islam di abad ke 9-10 M. Sehingga timbul penganiayaan dan
pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama Muslim di waktu itu.
Kalau yang dimaksud
dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm
al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang
diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Teolog Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam
bentuk ilmu tawhid. Ilmu Tawhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan
kurang bersifat filosofis.
Dalam kamus New English Dictinary
juga menerangkan tentang teologi yang disusun oleh Collins sebagai berikut :
the science which treats of the facts and phenomena of religion and the
relation between God and men ( ilmu yang yang membahas fakta-fakta dan
gejala-gejala agama serta hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia).
Jadi secara garis besar teologi adalah ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.
Setiap manusia pastilah ingin mengetahui
lebih dalam tentang seluk beluk agamanya sehingga tidak mudah goyang ketika
muncul aliran-aliran baru yang mungkin akan timbul dikemudian hari. Dan mereka
dapat mempunyai keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat
sehingga tidak menjadi seorang yang taqlid buta.
2.
SEJARAH TIMBULNYA TEOLOGI ISLAM
Islam adalah agama yang sebenarnya
mempunyai sebuah pegangan yaitu Al-Qur`an dan Hadits. Dalam segala persoalan
Al-Qur`an dan Hadits rosul dapat menjelaskan dan menyelesaikan persoalan
tersebut. Baik dalam bidang social bermasyarakat atau bermuamalat, bidang
politik, ekonomi dan apalagi soal keyakinan atau tauhid. Akan tetapi untuk
menjawab persoalan tersebut, Al-Qur`an masih harus dipelajari dengan sangat
lebih dalam karena masih banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menerangkan sesuatu
secara global dan belum terperinci. Al-Qur`an dan hadits Nabi sendiri banyak
berisi pembicaraan tentang wujud tuhan, keagungan tuhan dan Ke-Esa-anNya. Dalam
Al-Qur`an sendiri juga banyak menyebutkan tentang sifat-sifat tuhan, yang mana
sebagian bertalian dengan dzat Tuhan sendiri dan sebagian lagi menyatakan
semacam hubungan dengan makhluk-Nya, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha
memberi Rizqi dan lain sebagainya.
Tetapi anehnya, persoalan yang
pertama kali muncul bukanlah tentang tauhid atau teologi, melainkan dalam
bidang politik. Dan persoalan dalam bidang politik tersebutlah yang menjadi
suatu embrio perpecahan umat yang akhirnya mengantarkan kepada munculnya
berbagai aliran-aliran teologi dalam islam. Oleh karena itu awal mula munculnya
aliran-aliran teologi dalam islam tidaklah begitu jelas. Karena munculnya
aliran teologi tersebut melalui beberapa fase. Dan selama kurang lebih 3 abad
lamanya melakukan perdebatan, baik antara sesama maupun dengan lawan-lawan dan
pemeluk agama lain, kaum muslimin sesampai kepada ilmu yang mejelaskan
dasar-dasar aqidahnya dan jugaa perinci-perinciannya.
Al-Qur`an sendiri sangat menyarankan
umat islam untuk memakai akal pikirannya. Dan juga memperhatikan alam semesta
ini dengan panca indra yang dimilikinya. Oleh Karena itu, untuk urusan beragama
islam dengan keras mencela seorang yang beragama yang hanya taqlid buta atau
ikut-ikutan tentang soal-soal kepercayaan agama. Oleh karena itu umat muslim
harus benar-benar melepaskan akal pikirannya untuk menggali kandungan isi
Al-Qur`an dan sunnah Rosul. Pada waktu Rosulullah masih hidup, umat islam dapat
menanyakan segala sesuatu persoalan atau kesulitan kepada beliau akan tetapi
setelah beliau wafat mereka tidak bisa menanyakannya langsung kepada Rosulullah.
Melainkan kepada para penerus pemimpin umat, yang mana mereka harus dapat
menggali isi Al`Qur`an dengan akal pikiran dengan tata cara yang bisa
dipertanggung jawabkan.
Setelah Rosulullah wafat, muncullah
persoalan politik dikalangan umat islam yaitu tentang Imamah (pimpinan kaum
muslim berikutnya). Dan sejarah meriwayatkan bahwa yang menjadi pengganti
(sebagai kepala Negara, bukan sebagai Nabi atau rosul) adalah Abu Bakar. Dan
itu pun melalui sebuah perdebatan yag besar oleh para pemuda, sahabat muhajirin
dan sahabat anshor.kemudian abu Bakar digantikan oleh Umar Ibn Khottab dan Umar
digantikan oleh Utsman bin Affan.
Dalam pertengahan pemerintahan,
Kholifah Usman bin Affan tidak berdaya dalam menghadapi keluarga beliau yang
mempunyai ambisi untuk duduk dalam pemerintahan. Banyak keluarga beliau yang
menjadi gubernur di beberapa daerah kekuaasaan islam pada saat itu. Dan akibat
tindakan Khalifah Usman tersebut banyak para sahabat Nabi yang dulu menyokong
beliau sekarang menjauhi beliau. Yang akhirnya khalifah Usman wafat karena
dibunuh oleh para pemberontak dari Makkah.
Setelah khalifah Usman wafat,
kekhalifahan digantikan oleh Ali. Dan belum lama memerintah sebagai khalifah,
Ali mendapatkan tantangan dari Aisyah, Talhah Dan Zubair. Tetapi tantangan
tersebut dapat diselesaikan dengan perang. Dan tantangan berikutnya yaitu dari
Mu`awiyah. Mu`awiyah menuduh bahwa Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah
Usman karena Muhammad Ibn Abi Bakar (pembunuh Usman) adalah anak angkat dari
Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali tidak mengambil tindakan keras atas kasus
tersebut.
Selanjutnya Khalifah Ali dan
Mu`awiyah melakukan peperangan di bukit siffin. Yang pada akhirnya Khalifah Ali
dapat memojokkan Mu`awiyah.
Akan tetapi karena kelicikan dari kelompok Muawiyah, yaitu dengan
mengangkat Al-Qur`an keatas (tanda-tanda perdamaian), kelompok Ali pecah
menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok ynag setuju untuk berdamai dengan tetap
ikut kepada khalifah Ali (Syiah) dan kelompok yang tidak ingin untuk berdamai
(Khawarij).
Demikianlah beberapa persoalan politik yang akhirnya memicu terjadinya
permasalahan teologi. Yaitu dimulainya persoalan dosa besar karena membunuh
Khalifah Usman. Dan timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak
kafir.dalam arti siapa yang masih dalam islam dan siapa yang sudah keluar dalam
islam.
Dari sinilah
awal muncul tiga aliran teologi yaitu yang pertama, Aliran Khawarij yang
mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir (murtad) dan oleh karena
itu wajib di bunuh.
Aliran yang kedua, yaitu Aliran Murji`ah yang menegaskan bahwa orang
yang melakukan dosa besar masih dikatakan mukmin, adapun dosa yang dilakukan
terserah Allah SWT. Aliran yang ketiga, yaitu Aliran Mu`tazilah yang
menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan juga bukan
mukmin, melainkan berada diantaranya (almanzilah bain almanzilah). Dan
demikianlah sebenarnya sebuah persoalan fiqh (pertalian dengan manusia) yang
mengantarkan menjadi masalah kepercayaan (teologi).
3.
BEBERAPA ALIRAN TEOLOGI ISLAM
Pada pembahasan ini akan kami sampaikan beberapa contoh aliran
teologi islam diantaranya yaitu:
a)
Aliran Syiah
Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang
meyakini Ali bin Abi Talib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi
saw. wafat. Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal
mula golongan syiah. Sebagian menganggap Syiah lahir setelah Nabi Muhammad saw.
wafat, yaitu pada suatu perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Pendapat yang paling popular tentang lahirnya golongan
Syiah adalh setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Talib a Mu’awiyah
bin Abi Sufyan di Siffin. Perundingan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrasi.
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya
dan keluar dari pasukan Ali. Mereka itu disebut golongan Khawarij atau
orang-orang yang keluar, sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia
kepada Ali disebut Syiah atau pengikut Ali.
Beberapa sekte
aliran Syiah, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Sekte Kaisaniyah
Kaisiniyah adalah sekte
Syiah yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein
bin Ali wafat. nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang budak Ali yang bernama
Kaisan.
2.
Sekte Zaidiah
Sekte ini mempercayai
kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin sebagai pemimpin setelah
Husein Bin Ali wafat. dalam Syiah Zaidiyah, seseorang dapat diangkat sebagai
imam apabila memenuhi lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah keturunan Fatimah binti Muhammad saw.
berpengatuhan luas tentang agama, hidupnya hanya untuk beribadah, berjihad di
jalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani. Selain itu sekte ini
mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
3.
Sekte Imamiyah
Sekte ini adalah
golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi
Thalib menjadinpemimpin atau imam sebagai pengganti beliau dengan petunjuk yang
jelas dan tegas. Oleh karena itu,
sekte ini tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sekte
Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan terbesar adalah golongan
Isna Asy’ariyah ata Syiah Duabelas. Golongan kedua terbesar adalah golongan
Ismailiyah.
b)
Aliran Khawarij
Yang mengatakan
bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir (murtad) dan oleh karena itu wajib
di bunuh.
Secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah
istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan
Ali bin Abi Tholib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada
pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Disebut atau dinamakan Khowarij
disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin.
(Fat, juz 12 hal. 283)
Awal
keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu'minin
Al Kholifatur Rosyid Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu
tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah
mereka juga disebut Al Khoruriyyah. (Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi juz 2
hal. 245)
Menurut
keyakinan Khawarij, semua masalah antara Ali dan Mu’awiyah harus diselesaikan
dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang tertuang dalam Surah al-Maidah
Ayat 44 yang artinya,” Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. Berdasarkan
ayat ini, Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah
menjadi kafir karena mereka dalam memutuskan perkara tidak merujuk Al-Qur’an.
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
Abdullah
bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura
(pimpinan Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin sa’ad, Hausarah
al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah),
Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al-Rabih, Abd al
Karim bin ajrad, Zaid bin Asfar,Abdullah bin ibad.
Dalam aliran Khawarij terdapat enam sekte penting,
yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdat, al-Ajaridah, asy-Syufriyah dan
al-Ibadiyah.
2. Doktrin-Doktrin
Khawarij
Di antara doktrin-doktrin pokok khawarij adalah sebagai
berikut :
1.
Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat islam
2.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab
3.
Khalifah dipilih secara permanen selama yang
bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan
bahkan dibunuh kalau harus melakukan kezaliman.
4.
Khalifah sebelum Ali r.a (Abu Bakar, Umar dan Utsman)
adalah sah, tetapi setelah 7 tahun dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap
telah menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah
terjadi arbitrase (tahkim), beliau dianggap telah menyeleweng.
6.
Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga
kafir.
7.
Menjatuhkan hukum musyrik kepada anak-anak kaum
musyrikin, dan bahwa mereka juga kekal di dalam neraka bersama orang tuanya.
8.
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi
disebut muslim sehingga harus dibunuh. Bahkan yang sangat anarkis (kacau) lagi,
mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan juga.uruk harus masuk ke neraka
9.
Boleh membunuh perempuan dan anak-anak
kaum muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka.
10.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri
dianggap berada dalam dar al-islam (negara Islam).
11.
Seseorang harus menghindar dari pimpinan
yang menyeleweng.
12.
Adanya Wa’ad dan Wa’id (orang baik harus
masuk surga, orang jahat harus masuk neraka).
13.
Adanya Amar ma’ruf Nahi Munkar
14.
Memalingkan yat-ayat al-Qur’an yang tampak
mutasayabihat.
15.
Qur’an
adalah makhluk
16.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya,
bukan dari Tuhan.
c)
Aliran
Murji’ah
Yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tetap masih
mukmin dan bukan kafir. Permasalahan dosa yang dilakukan dikembalikan pada
Allah SWT untuk mengampuni atau tidak.
Aliran ini disebut juga Murji’ah karena
dalam prinsipnya mereka menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak. Oleh karena itu, mereka tidak ingin mengeluarkan
pendapat entang siapa syang benar dan dan siapa yang kafir di antara ketiga
kelompok yang bertikai itu.
Dalam perkembangannya, aliran
initernyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul
pada waktu itu.ketika itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa
besar. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat
dikatakan kafir selama ia tetap mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Nabi
Muhammad saw. sebagai rasul. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum
Khawarij yang menyatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya kafir.
Dalam perjalanan sejarahnya,
aliran ini aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan
kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin
Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Kelompok ekstrem terbagi dalam
beberapa kelompok, diantaranya adalah al-Jahamiyah, as-Salihiyah, al-Yunusiyah,
al-Ubaidiyah, al-Gailaniyah, as-Saubariyah, al-Marisiyah dan al-Karamiyah.
Sementara itu, Abu A’la al-Maududi menyebutkan 2
doktrin pokok ajaran Mur’jiah, yaitu :
1. Iman adalah percaya kepadaAllah dan Rasul-Nya saja.
Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.
Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan
perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada
iman, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas
seseorang untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan
diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
d)
Aliran Mu`tazilah
Aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua
posisi kafir dan mukmin. Dalam teologi mu’tazilah orang seperti ini dikatakan “tanzilu
baina manzilatain”.
Aliran ini
merupakan aliran terbesar dan tertua. Dan juga ikut memainkan peranan penting
dalam sejarah pemikiran dunia islam. Ajaran – ajaran pokok aliran ini yaitu; Ke
– Esa – an, Keadilan, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat, dan yang
terakhir yaitu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran.
Selain itu juga aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan
antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar. Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang ketika itu
menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahuli
gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa
besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukan
mukmin dan bukan kafir.
Aliran Mu’tazilah merupakan
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan
bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga
mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Setelah menyatakan pendapat
itu, Wasil bi Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk
kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal dengan Muktazillah. Pada awal
perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam karena ajaran
Muktazillah sulit dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat.
Hal itu disebabkan ajarannya
bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah aliran Muktazillah dinilai
tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat. Aliran baru
ini memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa
Bani Abbasiyah.
Doktrin Mutazilah
Aliran Muktazillah
mempunyai lima doktrin yang dikenal dengan al-usul al- khamsah.
Berikut ini kelima doktrin aliran Muktazillah.
1.
At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya
bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni
sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid).
2.
Ad-Adl
Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan
mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat
zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang
terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan
nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
3.
Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya
memasukkan orang mukmin ke dalam sorga. Begitu juga menempati ancaman-Nya
mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka.
4.
Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua
Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang
lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang
Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak
lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai
orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya.
Akan tetapi, sikasanya lebih ringan daripada orang kafir.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan
Kebajikan dan Melarang Kemungkaran).
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib
menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka
pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan
dihukum.
Kemunduran Aliran
Mu’tazilah
Sesudah peristiwa mihnah, pengingkaran
Mu’tazilah terhadap kesucian al-Qur’an, penyiksaan dan pemaksaan yang mereka
lakukan, ditambah lagi ketamakan mereka pada harta, pangkat dan kedudukan,
ummat islam menjadi benci kepada
kelompok ini. Dan ketika masa
khalifah al-Mutawakkil tiba (234H), beliau lantas mengumumkan ketidaksahan
pendapat mengenai kemakhlukan al-Qur’an. Beliau mengambil keputusan ini karena
melihat besarnya sikap penolakan mayoritas masyarakatnya terhadap mazhab
mu’tazilah, serta berbagai macam polemik negara yang disebabkan oleh hal ini.
e)
Aliran Qadariah
Kaum ini sebaliknya
dengan kaum jabariyah, yaitu manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Jadi segala sesuatu yang dilakukan manusia
memang atas kehendak dan kekuatan dari menusia tersebut.
Qadariyah
berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau
kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah
nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap
kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam
paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk kepada qadar dan qada . Aliran ini merupakan aliran yang suka
mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits
sendiri
Pokok-pokok
ajaran Qadariyah
Menurut Dr.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran
qadariyah adalah :
·
Orang yang
berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk
itu masuk neraka secara kekal.
·
Allah SWT.
Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah
berhak disebut adil.
Ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariah :
QS. Al-Kahfi : 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya : Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
QS. Ar-Ra’d : 11
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.
QS. Al-An’am : 111
مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
Artinya :
Mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki.
QS. Ash-Shaffat : 96
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya
: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".
f)
Aliran Jabariyah
Kaum ini
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak
dan perbuatannya. Jadi segala yang dilakukan oleh menusia adalah kehendak Tuhan
atau sudah menjadi qada dan qadar tuhan secara penuh. Aliran ini
berkebalikan dengan pandangan aliran Qodariah yang menyatakan manusia mempunyai
kebebasan berkehendak dan berbuat, sebaliknya aliran Jabariah berpandangan
manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah.
Paham ini selanjutnya terkenal dengan predestination atau fatalism.
Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa
Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat
dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun
Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa
setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia,
tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Adapun mengenai
latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih.
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang
mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,
yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang
lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam
datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi
yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka
kepada paham fatalisme.
Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya
paham Jabariyah, diantaranya:
QS ash-Shaffat: 96
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
QS al-Anfal: 17
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلاءً
حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan
tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian
untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.”
QS al-Insan: 30
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga
dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan
mengenai takdir.
b.
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri.
Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku
mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan
dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila
perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,
tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha
dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat
berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak
ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi
orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.
Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani
Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari
pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan
bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing,
yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab
Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat
dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai
paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh
dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi
dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu
tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga
adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan
dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.
Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu ekstrim dan moderat;
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan
dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai
pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan
dengan
pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak
kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah
ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang
dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat,
dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran
ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa
manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan,
tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham
Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari
scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh
manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya.
Manusia juga tidak dipaksa,
tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi
pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan
tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat
lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
g)
Ahli sunnah wal jama`ah
Golongan ini
timbul atas reaksi paham-paham golongan sebelumnya seperti Mu`tazilah dan
qadariyah dan yang lainnya. Golongan ini, salah satunya menjunjung tinggi
qaidah attasamukh (toleran) yaitu tidak seperti mu`tazilah yang begitu keras
dalam menyiarkan agama. Ahl Sunnah dan Jamaah tidak menjunjung tinggi-tinggi
kekuatan manusia dan juga tidak meyerahkan kekuatan sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam
literatur agama Islam terdapat beberapa aliran-aliran yang mempunyai
teologi/keyakinan-keyakinan yang bervariasi terhadap konsep ketuhanan, sehingga
hal tersebut tentu menuai beberapa konflik yang muncul di permukaan para
penganut teologi itu sendiri karena hal tersebut bersifat prinsipil dalam agama
Islam.
Perbedaan prinsip tersebut merupakan hasil dari pada
para tokoh pemikir Islam yang kemudian di dalam pemikiran tersebut terdapat
pengikut yang turut andil untuk menyebarluaskan kepada masyarakat karena hal
tersebut sangat urgen dalam literatur Islam agar tidak tersesat dalam pemikiran
yang lain
(antara satu
dengan yang lain merasa paling benar). Contoh kongkrit yang terjadi pada masa
sekarang ialah “Mirza Gulam Ahmad” yang dengan mengggunakan ayat Alqur’an dan
Hadist atas kepercayaannya, ia berkeyakinan bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul
setelah nabi Muhammad SAW, yang kemudian kepercayaan itu ditentang keras oleh
kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah karena menurut i’itiqad mereka, bahwa Nabi dan
Rasul yang paling akhir adalah Nabi Muhammad SAW. Barang siapa mendakwakan
dirinya sebagai Nabi dan Rasul sesudah Nabi Muhammad SAW maka orang itu
pembohong, harus ditolak dan dilawan habis-habisan.
Sesudah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi atau Rasul,
yang ada hanyalah Khalifah, Ulama-ulama, Auliya-auliya, Imam-imam, Mujtahid,
Guru-guru Agama, Ustadz-ustadz dan Syekh-syekh. Kepercayaan kaum Syi’ah yang
mirip-mirip menjadikan Sayidina ‘Ali atau Imam-imam mereka menjadi Nabi juga
ditentang oleh kaum Ahlussunnah, karena “ke-Nabi-an” pun sudah habis sesudah
nabi Muhammad SAW, pemahaman Ahlussunnah ini berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 40:
"ما كان محمد أبا أحد من
رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين وكان الله بكل شيئ عليما"
Artinya: “Nabi Muhammad itu bukan bapak seorang pun diantara-antara
laki-laki
diantara kamu, tetapi beliau Rasul-Allah dan
Nabi penutup. Dan tuhan maha tahu atas segala ,sesuatu”
Terang dan nyata dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “Khataman
Nabiyiin”, yakni Nabi penghabisan. Dalam hal ini tentu perlu di kita perlu mengetahui
bagaimana sepak-terjang Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menyikapi hal-hal
tersebut khususnya dalam perspektif teologi.
‘AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah
Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut :
“Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua
jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dan membelanya. Mereka
mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul)
maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada
yang disebut “salaf”, yakni generasi awal dari mulai
para sahabat, Tabi’in, dan ada juga yang disebut “khalaf”, yaitu
generasi yang datng kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap
peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara
mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan dan
diantaranya lagi bersikap konservatif (mukhafidun). Golongan ini
merupakan mayoritas umat Islam”.
Dari definisi
diatas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu
kelompok aliran, tapi da beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi didalamnya.
Karenanya Dr. Jalal M. Musa mengatakan, bahwa istilah Ahlussunnah wal Jama’ah
menjadi rebutan banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah
Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “ al-Jama’ah”
dalam
istilah ini oleh Abul Mudhoffar al-Isfarayani diberikan alasan karena mereka
menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil-dalil syar’iyah yang
fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.
Dalam kajian Ilmu Kalam, Istilah Ahlussunnah wal
Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi
berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah ini juga digunakan untuk
membedakan kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Dan para Imam Madzhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah (w.150 H), Imam Malik Bin
Anas (w.179 H), Imam As-Syafi’I (w. 204 H) dan Imam Ibnu Hambal (w. 241 H)
dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah sebelum munculnya Imam Al-Asyari, Imam
Al-Maturidi dan Imam At-Thohawi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli ilmu
kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. sumber dari istilah tersebut
oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadist Nabi s.a.w. yang menerangkan
akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi :
أخبر النبي صلى الله عليه وسلم ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة. الناجية
منها واحدة والباقون هلكي. قيل : ومن الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل :
ومن أهل السنة والجماعة ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابى.
Artinya: “Nabi
s.a.w. memberitahu : Bahwa umatku akan terpecah menjadi 73
golongan,
yang selamat hanya satu, lainnya binasa. Beliau ditanya: Siapa yang selamat ?
Beliau menjawab: Ahlussunnah wal Jama’ah. Ditanya lagi : Siapa itu Ahlussunnah
wal Jama’ah ? Beliau menjawab : Yang
mengikkuti apa yyang saya lakukan beserta para sahabatku”.
Menanggapi
hadist ini, para ulama berbeda pendapat, baik terhadap kekuatan hadits itu
sendiri, maupun pengertian substansi dari apa yang terungkap dalam hadits
tersebut.
Pertama : Apakah
hadist tersebut cukup kuat digunakan sebagai dasar kriteria umat Islam, baik
yang selamat maupun yang binasa ?
Sebagaian
besar ulama Ahlussunnah menilai hadits tersebut cukup kuat, mengingat sumber
sanadnya banyak dan dapat dinilai sebagai hadist mutawatir (banyak yang
meriwayatkannya). Diantara mereka adalah Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi, dengan
kitabnya Al-Farqu Baina al-Firoq. Juga Imam Mudhaffar al-Isyfarayini,
penulis kitab At-Tabhsir fi ad-Din. Juga Al-Qodli ‘Adluddin Abdur Rahman Al-Iji
dengan tulisannya Maqalat al-Firqah an-Najiah.
Kelompok
kedua, tidak menolak tapi juga tidak menggunakan hadits dalam karya-karya
tulisannya, seperti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, penulis Maqalat al-Islamiyin
wa Ikhtilaf al-Mushallin. Beliau tidak menyebut-nyebut hadits tersebut.
Juga Imam Abul Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi, yang terkenal dengan Imam
Ibnul Khothib, penulis kitab I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, juga
tidak merujuk ke hadits tersebut.
Kelompok
ketiga, menganggap hadits tersebut lemah, meskipun sumber sanadnya banyak
tetapi semuanya mengandung kelemahan, jadi tidak sahih. Oleh karenanya menolak
menggunakan hadits tersebut sebagai dasar dan acuan. Diantara yang jelas-jelas
menolak itu adalah Ibnu Hazm, tokoh madzhab Dhohiri dalam masalah fiqh, penulis
kitab Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal.
Umumnya
ulama dan kaun Nahdliyin, berpendapat sebagaimana kelompok pertama, yakni
menerima hadits itu dan menggunakannya sebagai dasar dan rujukan.
Namun Prof.
Dr. Abdul Halim Mahmud, dalam At-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam,
mengatakan bahwa ada hal yang lebih menyejukan dari hadits Nabi Muhammad
s.a.w., antara lain yang diriwayatkan oleh Imam As-Sya’roni dalam al-Mizan-nya
dari hadits Ibnu Najjar, yang dinilai sahih oleh Imam Hakim, sebagai berikut ;
ستفترق امتي على نيف وسبعين فرقة. كلها فى الجنة إلا واحدة.
“Umatku akan
terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan, semuanya masuk dalam surga
kecuali satu”.
Dalam
riwayat yang lain dari Imam Ad-Dailami, teks hadits tersebut adalah :
ألها لك منها واحدة
“Yang binasa
diantaranya ada satu (golongan)”.
Ada
riwayat-riwayat lain yang serupa yang dikutip oleh Imam As-Sya’roni, dari
hadits sahabat Anas bin Malik r.a. dengan menunujuk golongan Az-Zanadiqah
(golongan zindiq) yang akan rusak dan tidak ada harapan masuk surga.
Kedua : Apakah yang
dimaksud dengan kata “Ummatiy” dalam hadits tersebut itu “Umat
Da’wah” , artinya semua orang yang hidup sesudah Nabi Muhammad s.a.w.
diutus sebagai Rasul Allah, baik ia menerima ajakan Nabi atau tidak setelah
menerima
dakwahnya. Atau yang dimaksud disitu adalah “Umat Ijabah”
, yakni orang yang hidup setelah kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan dia
menerima ajakan / dakwahnya, apapun kualitas penerimaan itu. Dalam pengertian “Umat
Da’wah”, sama kedudukannya antara Abu Bakar as-Siddiq r.a. , Umar bin
Khattab r.a. dengan Abu Jahal maupun Abu Tholib, karena mereka sama-sama hidup
setalah Nabi Muhammad s.a.w. mendakwahkan Islam, dan sama-sama mendengarkan
atau mendapatkan dakwah tersebut. Bedanya, Abu Bakar as-Siddiq r.a. dan Umar
bin Khattab r.a. menerima ajakan Nabi saw menjadi mukmin dan muslim, sedangkan
Abu Jahal dan Abu Tholib tidak menerimanya. Maka Abu Bakar as-Siddiq r.a. dan
Umar bin Khattab r.a. masuk sebagai “Umat Ijabah” , sedangkan Abu Jahal
dan Abu Tholib tidak masuk didalamnya.
Ulama-ulama Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) termasuk
dari kalangan Nahdliyin, lebih cenderung mengartikan kata “Ummatiy”
dalam hadits tersebut sebagai “Umat Ijabah”.
Ketiga : Apakah Iftiraq
(perpecahan atau pengelompokan) disini berkaitan dengan ushuluddin (masalah
Aqidah) atau dalam masalah furu’uddin, yakni masalah fiqhiyah (hukum-hukum
fiqh), atau masalah ijtima’iyah (masalah sosial) ?.
Umumnya para ulama berpendapat bahwa dalam kajian Ilmu
Kalam, masalah firqah (pengelompokan) yang dimaksudkan dalam hadits tersebut
adalah dalam masalah aqidah atau masalah ushuluddin, bukan masalah dalam
fiqhiyah (furu’iyah) maupun masalah ijtimaiyah. Meskipun demikian ada
implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah diluar aqidah. Sebagai contoh,
Syi’ah yang menyakini supremasi
kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad s.a.w. menganggap bahwa para imam mereka itu ma’shum
(tidak bisa salah), ini jelas dapat berpangaruh dalam masalah ijtima’iyah,
utamanya masalah politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima
hadits-hadits yang sanadnya bersumber dari “ahlul bait” (lingkungan
interrnal keluarga Nabi s.a.w.), padahal sebagian besar hadits justru dari
sumber-sumber diluar ahlul abit. Akibatnya akan berpengaruh dalam pandangan
fiqihnya.
Tapi seringkali dilingkungan para Nahdliyin, terdapat
pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah (perbedaan
masalah fiqih) sebagai ukuran orang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya
mengatakan : orang yang qunut pada shalat subuh itu Ahlussunnah, dan kalau
tidak membaca qunut itu bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan : orang yang tarawih
20 raka’at itu Ahlussunnah, sedangkan yang terawihnya 8 raka’at itu bukan.
Pernyataan-pernyataan seperti itu, jelas tidak valid (tidak tepat) dan diluar
konteks Ahlussunnah, karena hal tersebut masu dalam “madzhab fiqhiyah” ,
bukan masalah ushuluddin.
Dalam
definisi Ahlussunnah yang sudah dipaparkan dimuka, dikalangan Ahlussunnah wal
Jama’ah ada yang disebut “salaf” (generasi pendahulu) dan “khalaf”
(generasi kemudian). Diantara kedua generasi tersebut memang terdapa visi
(pandangan) yang berbeda, disamping persamaan-persamaannya. Perbedaan diantara
kedua visi tersebut antara lain yang menyikapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat
yang mengandung arti ganda) yang ada didalam Al-Qur’an, utamanya yang berkaitan
dengan sifat Allah, seperti kata “yad” (tangan) “ain” (mata)
“istawa” (bersemayam).
Generasi Salaf, mempercayai
kebenaran ayat-ayat tersebut dan membenarkannya, tanpa mau banyak mendiskusikan
dan memperdebatkannya arti sebenarnya, mereka memahami ayat-ayat secara umum
saja, dan mereka menganggap adanya perdebatan sekitar hakikat makna ayat-ayat
tersebut tidak memberi mashlahat bagi umumnya umat Islam. Dan bagi kalangan
pemikir dan cendikiawan yang memiliki keluasan dan ketajaman nalar dipersilakan
melakukan pendalaman untuk diri sendiri bukan untuk dikonsumsi masyarakat awam.
Diriwayatkan, bahwa Walin bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin
Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin Saad, tentang ayat-ayat yang
berisi tentang sifat-sifat Allah. Mereka menjawab : Artikan seperti apa
adanya, dan jangan tanya bagaimana !
Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata “istawa” (bersemayam) bagi Allah.
Pertanyaan itu di jawab:
الإستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة.
“Kata istiwa itu sudah dimaklumi artinya. Adapun
bagaimana caranya tidak ada yang tahu. Iman terhadapnya kebenaran ayat tersebut
wajib. Sedangkan mempertanyakan masalah tersebut termasuk bid’ah”.
Sikap
menyerahkan arti yang hakiki dari ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah sendiri,
dan memberikan makna ayat-ayat tersebut secara harfiyah, dengan istilah “bila
kaifa wa la lima” (tanpa bagaimana dan mengapa), disebut “at-Tafwidl” (penyerahan
total). Sikap ini dipilih para salaf dengan alasan :
Pertama : Semua
masalah yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya itu diluar jangkauan
otorita dan kesanggupan akal, yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Kedua : Pembicaraan
yang spekulatif dalam pemberian makna ayat-ayat tersebut tidak memberi keuntungan
(mashlahat) kepada kaum Islam. Tindakan itu dipandang seperti orang yang
ambisius ingin menimbang sebuah bukuit dengan alat timbangan yang biasa dipakai
menimbang emas. Meskipun demikian, ada satu catatan, bahwa semua pemaknaan
sifat-sifat Allah secara harfiyah tersebut, sama sekali berbeda dengan
sifat-sifat makhluk, dan mereka menolak pendapat golongan “Musyabbihah” (menyerupakan
sifat-sifat Tuhan dengan sifat makhluk) atau “Mujassimah” (mencitrakan Tuhan seperti makhluk secara
ragawi).
Generasi
Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 hijriyah, di tengah-tengah
maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam karena beberapa hal,
antara lain heterogenitas (beraneka macam) masyarakat Islam, yang terdiri dari
berbagai macam kebangsaan, kebudayaan dan latar belakang tradisi dan keyakinan
(seperti Arab, Persia, Mesir, Turki, India, Romawi dan lain-lain), yang
memabaur menjadi satu komunitas Muslim, mereka saling mempengaruhi dan saling
beradaptasi. Disamping itu terjadi elaborasi budaya keilmuan Islam, karena
masuknya pengaruh rasionalitas melalui studi filsafat dari berbagai aliran yang
didukug oleh penguasa pemerintah (Bani Abbas/Abbasiyah) dan mendapatkan
fasilitas yang sangat memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi
ke-Islaman, seperti Ilmu Kalam, Ilmu Tashawwuf dan lain-lain yang
sebelumnya tidak dikenal sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam bidangnya
masing-masing, seperti Abu Abdillah bin Said Al-kullab (wafat 240 H) yang
dikenal dengan sebutan Ibnu Kullab dan Abul Abbas Al-Qolanisi (wafat 255 H)
masing-masing sebagai tokoh Ilmu Kalam dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah,
sebelum Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Berbeda dengan generasi salaf, yang
membatasi diri didalam memberikan arti ayat-ayat mutasyabihat dengan
dalil-dalil naqli (argumentasi skriptural) saja, sebagaimana diutarakan dimuka, maka
generasi kholaf, menerima penggunaan dali-dalil ‘aqli (argumentasi rasional)
disamping dalil naqli,dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. Dengan
kata lain, Ilmu Kalam adalah kajian tentang masalah-masalah aqidah Islam, yang
mendasarkan diri pada dalil-dalil naqli dan dalil-dalil ‘aqli.
Khusus
mengahadapi ayat-ayat mutasyabihat, golongan ini (Kholaf) tidak terbatas
melakukan pendekatan “Tafwidl” (penyerahan total) tetapi menggunakan
penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian Allah,dan ke-Maha
Agungan-Nya dan lebih menjauhkan dari sikap penyerupaan (tasybih)
terhadap Allah dengan sifat-sifat makhluk. Penafsiran ini disebut dengan “Ta’wil”,
seperti kata “yadullah” diartikan dengan “kekuasaan Allah”,
“ainullah” diartikan “pengawasan Allah” , kata “istiwa’ atau
“istawa” diartikan “mengatur”. Disini jelas Ahlussunnah wal Jama’ah
yang selalu mengambil jalan tengah (At-Tawassuth) dalam metode dan pola
pikir. Tidak over-rationalist seperti Mu’tazilah yang seringkali mengabaikan
peran wahyu dan sunnah, dan juga tidak over-letteralist seperti kelompok
Musyabihah dan Mujassimah.
Dalam
membandingkan dua model pendekatan ini (Salaf dan Kholaf) Syekh Hasan Mansur,
Syekh Abdul Wahab dan Syekh Musthafa ‘Anani, para penulis kitab
Ad-Dien
Al-Islami menyimpulkan bahwa :
طريقة السلف أسلم وطريقة الخلف أحكم.
“Cara salaf
lebih selamat,dan cara kholaf lebih kuat”
Dikalangan Nahdliyin, kedua pendekatan salaf maupun
Kholaf ini dipakai, dan itu terlihat dalam kitab-kitab kuning yang di baca di
Pondok-pondok Pesantren, atau ceramah-ceramah yang disampaikan dalam
majlis-majlis ta’lim atau pengajian-pengajian umum. Hanya saja, kajian-kajian
ilmu Kalam di lingkungan Nahdliyin tidak seluas kajian dalam ilmu Fiqh atau
Tashawuf. Kitab-kitab Al-Ibanah, Al-Lumma’, Maqalat al-Islamiyin karangan
Imam Al-Asy’ari atau As-Syamil, Al-Irsyad, karangan Imam Haramain
Al-Juwaini, atau Al-Inshaf, Al-Bayan, karangan Al-Baqillani, Al-Farqu
Baina Al-Firaq tulisan Al-Baghdadi, Qonun at-Ta’wil, Faishal At-Tafriqah
Baina al-Islam wa az-Zindiqah, karya Al-Ghazali, sangat sedikit dipelajari
oleh warga bahkan Ulama Nahdliyin, padahal dari kitab-kitab tersebut kita dapat
memahami Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara memadai.
Pemikiran – pemikiran Asy’ariyah dan Mathuridiyah pada
umumnya merupakan reaksi terhadap ajaran-ajaran Mu’tazilah, yang berpangkal
pada lima ajaran dasar (al-ushulul khamsah = ajaran pokok yang lima),
yaitu : al-Tauhid, al-Adlu, al-Wa’du, al-Wa’id, al-Manzilah bain
al-Manzilatain, al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar).
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa tuhan tidak
mempunyai sifat. Jika Tuhan mempunyai sifat pastilah ada sifat yang menyifati
dan yang disifati tentu adalah dzat, maka didalamnya terdapat unsur-unsur yang
kekal pula, oleh karena itu Mu’tazilah menolak Tuhan bersifat, karena akan
membawa kepada paham syirik atau politeisme, masuk pada golongan Mujassimah dan
Hawasyiyah. Dalam hal ini, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil jalan tengah
dengan mengemukakan : Tuhan mempunyai sifat melihat, mendengar, berbicara,
mempunyai wajah, tangan, duduk diatas “arasy” dan sebagainya, seperti yang
disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bila
kaif). Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan dzat
Tuhan adalah berbeda, “ma huwa wa la ghairuhu”.
PRINSIP-PRINSIP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlusssunnah wal Jama’ah menyepakati prinsip-prinsip
penting yang kemudian menjadi ciri dan inti dari aqidah mereka. Setiap kelompok
yang bertentangan dengan mereka berbeda dalam satu atau beberapa prinsip,
seperti yang akan kami bahas satu persatu.
ü Aqidah
Ahlusssunnah wal Jama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif
(membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa
mengingkari-Nya.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an : Al Qur’an Kalamullah,
bukan makhluk.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam
kehidupan dunia.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga
dengan kedua mata mereka.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah mengimani Qadar Allah dengan segala tingkatnya.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan
berkurang.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah menyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
Iman seorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh
karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena
kemaksiatannya, kecuali jika terlepas pokok keimanannya.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antar siksa dan pahala
pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada
orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri
Rasul tanpa menyakini adanya kema’shuman terhadap siapa pun kecuali Rasulullah.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian luar biasa yang
dberkan Allah kepada mereka.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah bersepakat untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syari’at
Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
ü Ahlusssunnah
wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik
maupun durhaka, demi menegakan syari’at Islam.
Keseluruhan
prinsip-prinsip yang telah kami sebutkan dimuka itu adalah merupakan prinsip
yang berasaskan Al-Qur’an sehingga hal tersebut bersifat qoth’i baginya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar