Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 21 April 2014

makalah belajar dan pembelajaran


BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Menerapkan prosedur pembelajaran konsep, nilai, keterampilan, dan kecakapan sosial
Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran

  


Disusun oleh:
Deni Komarullah         :           1111015000003
Lu’luyah                      :           1111015000096
Diah Fajriah S.M         :           1112015000008
Mutia Anggraeni         :           1112015000023

Dosen Pengampu :
Dra. Manerah

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA\
2013







MENERAPKAN PROSEDUR PEMBELAJARAN KONSEP, NILAI,
KETERAMPILAN, dan KECAKAPAN SOSIAL

A.     PENERAPAN  PROSEDUR PEMBELAJARAN KONSEP

1.      Mengapa Belajar Konsep
Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun (building blocks) berfikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan masalah seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya.

2.       Definisi dan Berbagai Macam Konsep
Tidak ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai macam konsep-konsep yang diperoleh siswa. Oleh karena konsep-konsep itu merupakan penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati; konsep-konsep harus disimpulkan dari perilaku, walaupun kita dapat memberikan suatu definisi verbal dari hubungan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain.

Hal yang harus disadari saat ini adalah pentingnya belajar konsep tentang sesuatu. Konsep yang dimaksud disini tidak lain dari kategori-kategori yang kita berikan dari stimulus atau rangsangan yang ada di lingkungan kita. Konsep yang ada di dalam struktur kognitif individu merupakan hasil dari pengalaman yang ia peroleh. Jika keadaannya demikian, sebagian konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses belajar yang mana proses hasil dari proses belajar ini akan menjadi pondasi (building blocks) dalam struktur berpikir individu. Konsep-konsep inilah yang dijadikan dasar oleh seseorang dalam memecahkan masalah, mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan hal-hal lain yang ada keterkaitannya dengan apa yang harus dilakukan individu.


Definisi konsep menurut sebagian besar orang adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama.

Macam-macam konsep yang kita pelajari tidak terbatas. Konsep panas sangat berbeda dari konsep relativitas dalam beberpa dimensi. Flavel (1970) menyarankan bahwa konsep-konsep dapat berbeda dala, tuuh dimensi, yaitu:
Ø  Atribut
Setiap konsep memiliki sejumlah atribut yang berbeda. Contoh-contoh konsep harus mempunyai atribut-atribut yang relevan; termasuk juga atribut-atribut yang tidak relevan, contohnya konsep meja.
Ø  Struktur
Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut itu. Ada tiga macam struktur yang dikenal yaitu; konsep-konsep konjuktif adalah konsep-konsep dimana terdapat dua konsep contonya, wanita yang main dalam film dimana atributnya ialah wanita dan main dalam film. Konsep-konsep disjunktif adalah konsep-konsep dimana satu dari dua atau lebih sifat-sifat harus ada contohnya konsep seorang paman yang merupakan kakak dari ibu atau ayah. Konsep-konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut-atribut konsep. Kelas social adalah suatu contoh  dari konsep relasional. Kelas social ditentukan oleh hubungan antara pendapatan, pendidikan, jabatan atau pekerjaan, dan factor-faktor lainnya.
Ø  Keabstrakan
Konsep-konsep dapat dilihat dan konkrit, atau konsep-konsep itu terdiri dari konsep-konsep lain.
Ø  Keinklusifan
Konsep ini ditujukan pada jumlah contoh-contoh yang terlibat dalam konsep itu.
Ø  Generalitas atau keumuman
Bila diklasifikasikan, konsep-konsep dapat berbeda dalam posisi superordinat atau subordinat.


Ø  Ketepatan
Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep.
Ø  Kekuatan (power)
Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju, bahwa konsep itu penting.
Menurut Rosser (1984), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek , kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokkan stimulus-stimulus dengan ccara tertentu. Secara singkat dapat kita katakan, bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili suatu kelas stimulus-stimulus. Kita menyimpulkan, bahwa suatu konsep telah dipelajari, bila yang diajar dapat menampilkan perilaku-perilaku tertentu.

3.       Perolehan Konsep-Konsep
Menurut Ausubel (1968), konsep-konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept asimilasi). Formasi konsep terutama merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Sedangkan asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah.

Pendekatan pembelajaran perolehan konsep adalah suatu pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami suatu konsep tertentu.

Pendekatan pembelajaran ini dapat diterapkan untuk semua umur, dari anak-anak sampai orang dewasa. Untuk taman kanak-kanak, tentunya, pendekatan ini dapat digunakan untuk memperkenalkan konsep yang sederhana. Misalnya konsep binatang, tumbuhan, dan lain-lain. Pendekatan ini, lebih tepat digunakan ketika penekanan pembelajaran lebih dititikberatkan pada mengenalkan konsep baru, melatih kemampuan berpikir induktif dan melatih berpikir analisis.

Suatu konsep diperoleh melalui tiga tahap yaitu:
ü  Pertama adalah tahap kategorisasi, yaitu upaya mengkategorikan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan konsep yang diperoleh.
ü  Masuk ketahap selanjutnya, setelah kategori yang tidak sesuai disingkirkan, dan kategori-kategori yang sesuai digabungkan sehingga membentuk suatu konsep (concept formation). Setelah itu, suatu konsep tertentu baru dapat disimpulkan.
ü  Tahap terakhir inilah yang dimaksud dengan perolehan konsep.
Melalui model ini, perolehan konsep didasarkan pada kondisi reseptif siswa dan sifatnya lebih langsung.
a)     Pembentukan Konsep
Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila anak dihadapkan pada stimulus-stimulus, lingkungan, ia mengabstraksi sifat-sifat tertentu atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus-stimulus. Pembentukan konsep merupakan suatu bentuk belajar penemuan (discovery learning), paling sedikit dalam bentuk primitive yang melibatkan proses-proses psikologi seperti analisis diskriminatif, abstraksi, diferensiasi, pembentukan (generation) hipotesis dan pengujian (testing), dan generalisasi. Pembentukan konsep ini juga ditujukan oleh orang-orang yang lebih tua dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan dalam laboratorium, tetapi dengan tingkat sofistifikasi yang lebih tinggi.
b)      Asimilasi Konsep
Asimilasi konsep merupakan proses deduktif, dimana anak-anak diharapkan belajar banyak konsep melalui proses asimilasi konsep. Untuk memperoleh konsep-konsep melalui proses asimilasi, orang yang belajar harus sudah memperoleh definsi formal dari suatu kata menunjukkan kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan konsep tertentu dan membedakan kata itu dari konsep-konsep lain.
Walupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep lebih memakan waktu daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan, bahwa begitu banyak konsep yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan berlebihan dari metoda penemuan hendaknya dibatasi.


4.       Penjelasan Teroritis Tentang Belajar Konsep
a.       Pendekatan Perilaku
Bagi para penganut teori perilaku, dasar belajar konsep, seperti juga bentuk-bentuk belajar yang lain, ialah asosiasi stimulus dan respons. Perbedaan utama antara belajar konsep dan belajar-bellajar yang lain ialah dalam belajar konsep anak yang belajar memberikan suatu respons terhadap sejumlah stimulus yang berbeda, jadi bukan memberikan satu respon terhadap satu stimulus.

Bagi para pengikut teori-teori perilaku, belajar konsep melibatkan perubahan-perubahan kuantitatif. Perubahan-perubahan itu terdiri atas; penambahan lebih banyak stimulus pada suatu respon yang sudah dipelajari dan peningkatan jumlah berbagai hubungan S—R.

Para perilakuwan menekankan aspek-aspek yang dapat diamati dari situasi sebagai factor-faktor penting dalam belajar konsep. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa belajar konsep dipengaruhi oleh factor-faktor berikut:
*      Pola reinforsemen dan umpan balik
*      Jumlah contoh-contoh positif dan negative
*      Jumlah atribut-atribut

b.      Pendekatan-pendekatan Kognitif
Penedekatan-pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan konsep-konsep, pada sifat dari konsep-konsep, dan pada bagaimana konsep-konsep itu disajikan dalam struktur kognitif. Walaupun para teoriwan kognitif memikirkan kondisi-kondisi yang memperlancar pembentukan konsep, penekanan mereka ialah pada proses-proses internal yang digunakan dalam belajar konsep-konsep.
Studi-studi kognitif tentang perolehan konsep telah memperlihatkan beberapa penemuan sebagai yang dikemukakan dibawah ini.
*      Konsep-konsep konjunktif lebih mudah dipelajari daripada konsep-konsep disjunktif atau konsep-konsep relasioonal.
*      Belajar konsep lebih mudah dengan menggunakan paradigm selektif daripada paradigma reseptif.

c.       Beberapa Pendekatan Dewasa Ini
Dalam bukunya “Principles of Intructional Design” (1988) Gagne menyarankan kondisi-kondisi berikut yyang dibutuhkan untuk belajar konsep-konsep konkrit.

Kondisi internal: siswa harus dapat membedakan contoh suatu konsep  dan noncontoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal, subyek sudah harus ada sebelumnya mempelajari nama verbal. Siswa harus mengingat kembali diskriminasi maupun nama verbal

Kondisi eksternal: isyarat-isyarat verbal merupakan cara-cara utama dalam mengajar konsep-konsep konkrit.

5.       Tingkat-Tingkat Pencapaian Konsep
Pengembangan konsep-konsep melalui satu seri tingkatan. Kita mencapai konsep-konsep pada tingkat-tingkat yang berbeda. Konsep-konsep yang berbeda dipelajari pada usia-usia yang berbeda. Klausmeier (1977) menghipotesiskan ada empat tingkat pencapaian konsep, yaitu :
a.       Tingkat konkret
Tingkat konkret ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Contohnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret.
b.      Tingkat identitas
Pada tingkat identitas seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.
c.       Tingkat klasifikatori
Tingkat klasifikatori dapat digambarkan anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.
d.      Tingkat formal
Pada tingkatan formal anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.

6.       Menentukan Konsep-Konsep yang akan Diajarkan
Dalam menentukan konsep yang akan diajarkan, ada beberapa sumber yang perlu kita ketahui, yaitu:
a)      Penulis-penulis buku pelajaran (buku teks)
b)      Pengembangan-pengembangan kurikulum
c)       Pengalaman guru itu sendiri
d)      Anak-anak atau siswa itu sendiri
Penuntun-penuntun kurikulum dan buku-buku teks menyediakan suatu kerangka atau konsep-konsep yang akan diajarkan dan perilaku siswa akan menentukan konsep-konsep lain. Pengetahuan guru tentang perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa itu sendiri akan menyediakan informasi tambahan, bukan hanya untuk menentukan konsep-konsep yang diajarkan, melainkan juga untuk menentukan tingkat-tingkat yang dapat kita harapkan dicapai oleh para siswa.

7.       Merencanakan Pelajaran
Proses belajar mengajar perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya pembelajaran berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Dalam merencanakan, guru harus memutuskan tingkat pencapaian konsep yang mana yang dapat diharapkan dari para siswa. Analisis konsep dapat menolong guru dalam hal ini, dan memilih materi pelajaran yang akan diberikan.
a.    Menentukan tingkat pencapaian konsep
Tingkat pencapaian konsep yang diharapkan dari siswa, tergantung pada kompleksitas dari konsep dan tingkat perkembangan kognitif dari siswa. Tingkat pencapaian formal dapat diharapkan bila pengajaran yang tepat diberikan pada siswa-siswa pada periode operasional formal. Tingkat-tingkat pencapaian konsp yang diharapkan tercermin dari tujuan-tujuan pengajaran yang dirumuskan bagi para siswa.
b.    Analisis konsep
Analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Untuk melakukan analisis konsep, guru hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
v  Nama konsep
Orang dapat membentuk konsep-konsep tanpa memberi nama pada konsep itu, terutama pada tingkat konkret dan tingkat identitas. Tetapi, setelah mereka masuk sekolah mereka diberi pelajaran tentang nama-nama konsep yang telah diterima secara luas.
v  Atribut-atribut kriteria dan variabel konsep
Atribut-atribut criteria suatu konsep adalah ciri-ciri konsep yang perlu untuk membedakan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh, dan untuk menentukan apakah suatu objek baru merupakan suatu contoh dari konsep. Atribit-atribut variabel konsep ialah ciri-ciri yang mungkin berbeda di antara contoh-contoh tanpa mempengaruhi inklusi dalam kategori konsep itu.
v  Definisi konsep
Pada tingkat formal, siswa dapat belajar konsep melalui definisi yang diberikan. Kemampuan untuk menyatakan suatu definisi dari suatu konsep dapat digunakan sebagai suatu criteria bahwa siswa telah belajar konsep itu.
v  Contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh
Dengan membuat daftar dari atribut-atribut dari suatu konsep, pengembangan konsep-konsep dan nonkonsep-nonkonsep dapat diperlancar.
v  Hubungan konsep pada konsep-konsep lain : superordinat, koordinat, dan subordinat.

Untuk sebagian besar konsep-konsep, kita dapat mengembangkan suatu hiarki dari konsep-konsep yang berhubungan yang memperlihatkan bagaimana suatu konsep terkait pada konsep-konsep lain.

B.     PENERAPAN PROSEDUR PEMBELAJARAN NILAI

1.  PANDANGAN PARA AHLI MENGENAI PEMBELAJARAN AFEKTIF
·         Menurut Mc Paul.
Dia menganggap pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan keperibadian, bukan pengembangan intelektual.
·         Menurut Kohlberg
Moral manusia berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 (dua) tahap.
·         Menurut John Dewey dan Jean Pinget,
berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses Restrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
·         Menurut Dooglas Graham (Golu).
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik, masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina, perkembangan nilai-nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap-tahap.

2.  STRATEGI PEMBELAJARAN-PEMBELAJARAN AFEKTIF
Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap (afektif) erat kaitanya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifat-sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak, pandangan seseorang tentang semua itu, nilai pada dasarnya adalah setandar perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
ü  Normativist  : Kepatuhan yang terdapat pada norma-norma hukum.
ü  Integralist      : Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan
                          pertimbangan yang rasional.
ü  Fenomalist    : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
ü  Hedonist        : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sisytem nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan di arahkan. Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Goul (2005) menyimpulkan tentang nilai tersebut :
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik. Maslah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina.
Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, berlajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatife).

3.          PROSES PEMBENTUKAN SIKAP
Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya.
Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi idman. Modering adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang di hormatinya. Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan kagum.

4.  MODEL STRATEGI PEMBELAJARAN SIKAP
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya baik.
a)      Model Konsiderasi
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian, tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki keperibadian terhadap orang lain.
b)      Model Pengembangan Kognitif
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang berpendapat bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
c)       Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai tehnik pengajaran untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di anggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai menurut anggapanya baik, yang pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan dalam pembelajaran afektif ini dikarenakan :
a)      Sulit melakukan control karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya di temukan oleh faktor guru, akan tetapi faktor lain terutama faktor lingkungan.
b)      Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup pnjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses lama.
c)       Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa dipungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang kehidupan.

5.  AFEKTIF SEBUAH STRATEGI PEMBELAJARAN TERAPAN
Pembelajaran Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subjek belajar.
Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu, memang Afektif dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak indah dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman niali kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap niali tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu :
a.       Normativist
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri ; kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri ; kepatuhan pada haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.      Integralist
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d.      Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dari empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :
a.       Otoritarian
Yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b.      Conformist
Kepatuhan ini mempunyi tiga bentuk, antara lain : Conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c.       Compulsive
Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.      Hedonik Psikopatik
Yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.      Supramoralist
Yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Pada era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian sikap seorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
1.       Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
2.       Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
3.       Masalah ini adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa di bina.
4.       Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
Sikap adalah kecenderungan seseerang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek; berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/tidak berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dlam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative .
Apakah sikap dapat dibentuk ?
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner melalui teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kalianak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi tau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan. Prinsip peniruan ini dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
Model-model strategi pembelajaran sikap antara lain :
1.       Model konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan perkembangan kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini, guru dapat mengikuti tahapan dibawah ini :
a)      Menghadapkan siswa pada suatu maslah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam masalah itu”.
b)      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalah tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c)       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaanya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d)      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e)      Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Siswa diajak berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain.
f)       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g)      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangan sendiri.
2.       Model Pengembangan kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingakat-tingkat tersebut antara lain :
a.       Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua tahap yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui agar tidak timbul konsekuensi negatif : Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.
b.      Tingkat Konvensional
Dalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

C.     PENERAPAN  PROSEDUR PEMBELAJARAN KETERAMPILAN & KECAKAPAN SOSIAL
Teknik Pengembangan Keterampilan Siswa
Pendidikan berbasis life skill adalah kecakapan hidup yang dimiliki oleh seseorang untuk berani menghadapi problema kehidupan secara wajar, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga mampu mengatasinya. Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan kemampuan, kesanggupan dan ketrampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, dan daya raga.
Pendidikan life skill sebagai pendidikan dapat memberikan bekal ketrampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pendidikan life skill memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Pendidikan life skill mengacu pada berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat.
Penulis simpulkan, bahwa pendidikan life skill atau pendidikan kecakapan hidup, adalah salah satu konsep baru dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dapat melahirkan kecakapan hidup pada seseorang berupa kemampuan, kesanggupan dan ketrampilan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya sehingga mau dan berani mengahadapi problema kehidupan secara wajar, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusinya. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran, maka pendidikan berbasis life skill ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.      Melalui reorientasi pembelajaran
2.      Mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan dan metode yang variatif
3.      Melalui pembelajaran kecakapan vokasional (bagi siswa yang berpotensi tidak melanjutkan).

Dengan berbagai macam strategi tersebut, diharapkan kurikulum yang digunakan dapat menghantarkan para peserta didik memiliki kecakapan hidup untuk bisa bertahan dalam berbagai persoalan hidup serta cakap dalam menemukan solusinya.
Secara umum, manfaat pendidikan life skill bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi serta memecahkan permasalahan, baik secara pribadi, masyarakat dan sebagai warga negara. Sedangkan tujuan utama dari pendidikan berbasis life skill adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata atau mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup serta mengembangkan dirinya.
Secara lebih spesifik, tujuan dari pendidikan berbasis life skill yaitu;
  1. Memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan nilai (logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos) kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dipergunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya;
  2. Memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang dapat menghantarkan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang sarat dengan persaingan dan kolaborasi;
  3. Menfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi, misalkan menjaga kesehatan mental dan fisik, mencari nafkah dan memilih serta mengembangkan karir.
  4. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah dengan memberikan pemanfaatan peluang sumber daya masyarakat, sesuai prinsip manajemen berbasis sekolah.
Sebagaimana telah dideskripsikan Departemen Pendidikan Nasional (2004) dalam "Kurikulum Sosiologi tahun 2004", bahwa pembelajaran Sosiologi berperan sebagai wahana pengembangan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pemahamannya terhadap fenomena kehidupan sehari-hari. Sebagai wahana pengembangan kemampuan siswa, materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan, metode, dan teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata hidup bermasyarakat. Materi tersebut sekaligus menjadi pengantar bagi siswa-siswa yang berminat mendalami Sosiologi lebih lanjut. 
Malik Fajar menyebutkan, bahwa kegiatan pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Betapa pun baiknya konstruksi filsafat pendidikan, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan pembelajaran yang baik, pendidikan dapat dikatakan telah mengalami kegagalan semenjak proses yang paling awal. 
Jadi, kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran, termasuk Sosiologi, sangat penting peranannya. Aspek-aspek pembelajaran Sosiologi mencakup aspek-aspek kognisi, afeksi, dan keterampilan. Menurut Bloom, aspek keterampilan yang harus diajarkan melalui pembelajaran Sosiologi adalah "keterampilan berfikir, keterampilan akademis, keterampilan sosial, dan keterampilan meneliti". 
Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka tujuan pengembangan keterampilan sosial dalam mata pelajaran Sosiologi adalah agar siswa mampu berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mampu menyelesaikan tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan dirasakan kebaikannya oleh semua anggota masing-masing. 
Hal ini selaras dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya, baik kepribadian individualnya, termasuk daya rasionalnya, reaksi emosionalnya, aktivitas dan kreativitasnya, dan lain sebagainya dipengaruhi oleh kelompok tempat hidupnya. 
Dengan demikian, pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial harus menjadi salah satu tujuan pendidikan di tingkat menengah umum, khususnya SMA (Sekolah Menengah Atas). Inti permasalahan yang telah diuraikan di atas adalah model pembelajaran yang kurang efektif merupakan salah satu penyebab rendahnya keterampilan sosial pada siswa.
Untuk itu perlu dicari suatu inovasi model pembelajaran yang paling efektif, sehingga mampu mengembangkan keterampilan sosial siswa. Sebagai salah satu mata pelajaran di tingkat pendidikan menengah umum (SMA), Sosiologi berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dalam keragaman realitas sosial dan budaya berdasarkan etika. Guna mengejawantahkan fungsi mata pelajaran ini, maka keterampilan sosial siswa harus dikembangkan secara optimal, sehingga pada gilirannya siswa memperoleh kecakapan hidup (life skills) yang bermanfaat bagi kehidupannya kini dan masa depannya kelak. 

Berbagai ahli seperti Raven, Bell, McConnell, dan Conant telah menyebutkan, bahwa salah satu tujuan pendidikan menengah umum adalah untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial. Nilai-nilai sosial sangat penting bagi anak didik, karena berfungsi sebagai acuan bertingkah laku terhadap sesamanya, sehingga dapat diterima di masyarakat. Nilai-nilai itu antara lain, seperti kasih sayang, tanggung jawab, dan keserasian hidup. 

Adapun keterampilan sosial mempunyai fungsi sebagai sarana untuk memperoleh hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain; contoh : melakukan penyelamatan lingkungan, membantu orang lain, kerja sama, mengambil keputusan, berkomunikasi, wirausaha, dan partisipasi. Pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial tersebut merupakan hal yang harus dicapai oleh pendidikan menengah umum. Hal itu karena anak didik merupakan makhluk sosial yang akan hidup di masyarakat. 
Jadi, pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial amat penting dalam pendidikan menengah umum. Namun, secara praksis, hal tersebut cenderung diabaikan, sebagaimana beberapa penelitian membuktikannya, bahwa : 

1.      Terdapat kecenderungan mengabaikan pembinaan nilai-nilai sosial dalam pendidikan, sehingga mengakibatkan eraosi nilai-nilai dan keterampilan sosial.
2.      Mata pelajaran Sosiologi berkontribusi terhadap tanggung jawab sosial siswa (rasa memiliki, disiplin, tolong menolong, dan toleransi).
3.      Model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepribadian sosial anak didik. Kepribadian sosial tidak cukup hanya diberikan dengan metode ceramah dan diskusi di kelas, melainkan dengan terjun langsung di masyarakat mengklarifikasi dan menghadapi kenyataan sosial, dapat membentuk kepribadian yang matang.
4.      Model pembelajaran Sosiologi kurang berorientasi kepada pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial. Dengan demikian, nilai-nilai dan keterampilan tersebut kurang dimiliki siswa, seperti kurang dalam hal kepedulian, kesetiaan, pengabdian, disiplin, empati, toleransi, mengatasi masalah, berkomunikasi, tanggung jawab, dan partisipasi terhadap sosial. 

Keterampilan sosial yang perlu dimiliki siswa, menurut John Jarolimek, mencakup : 
1.      Living and working together, taking turns, respecting the rights of others, being socially sensitive 
2.      Learning self-control and self-direction 
3.      Sharing ideas and experience with others 

Dari pernyataan Jarolimek di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial itu memuat aspek-aspek keterampilan untuk hidup dan bekerjasama, keterampilan untuk mengontrol diri dan orang lain, keterampilan untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman sehingga tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok tersebut. 

Keterampilan sosial siswa SMA sangat perlu dikembangkan, karena siswa SMA masih pada usia mencari jati diri dan pada saat itu adalah masa merindu-puja (masa membutuhkan teman), sehingga perlu bimbingan dengan ajaran yang memiliki landasan yang benar. Keterampilan sosial yang sangat penting dalam pembelajaran Sosiologi ini ternyata secara empirik di lapangan sangat jarang dilakukan oleh guru; padahal guru sering menggunakan metode pendekatan kerja kelompok. Kenyataan ini dipicu oleh ketidakmengertian guru Sosiologi terhadap tujuan IPS pada umumnya dan pembelajaran Sosiologi pada khususnya. 

Banyak metode yang dapat digunakan guru Sosiologi untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa, menurut Prayitno, di antaranya yaitu :
1.      Diskusi kelompok : diskusi kelompok besar/kecil, diskusi panel.
2.      Simposium, ceramah forum, percakapan forum, seminar.
3.      Role playing (permainan peranan) atau sosiodrama.
4.      Fish bowl.
5.      Brainstorming 

6.      Problem solving dan inquiry 
7.      Metode proyek 
8.      Buzz Group 
9.      Tutorial 
10.  Dll. 

Sementara itu, cara-cara berketerampilan sosial yang dapat dikembangkan kepada siswa adalah sebagai berikut : 
1.      Membuat rencana dengan orang lain.
2.      Partisipasi dalam usaha meneliti sesuatu.
3.      Partisipasi produktif dalam diskusi kelompok.
4.      Menjawab secara sopan pertanyaan orang lain.
5.      Memimpin diskusi kelompok.
6.      Bertindak secara bertanggung jawab.
7.      Menolong orang lain. 

Seorang siswa dikatakan mampu berketerampilan sosial tatkala ia dapat berkomunikasi dengan baik sesuai aturan (tatacara) dengan sesamanya di dalam sebuah kelompok. Jadi, sarana kelompok (wadah) untuk berkomunikasi merupakan syarat yang harus ada di dalam memroses keterampilan sosial siswa. Kelompok yang produktif adalah kelompok yang kaya dengan pencapaian tujuan kelompok dan kaya dengan pemberian sumbangan terhadap kebutuhan anggota-anggotanya. Produktivitas kelompok sangat dipengaruhi oleh semangat kerja kelompok, kebersamaan serta kepemimpinan dalam kelompok.

 Kerjasama yang baik, yang seimbang antar individu-individu dalam suatu kelompok demokratis tidak ada dengan sendirinya saja, melainkan harus dipelajari. Maka untuk berusaha supaya dalam kelompok demokratis terdapat kerjasama yang efektif, berhasil baik, terdapat beberapa prinsip dinamika kelompok yang merupakan syarat dari produktivitas kelompok, yaitu : 

1.      Suasana (atmosphere).
2.      Rasa aman (threat reduction).
3.      Kepemimpinan bergilir (distributive leadership).
4.      Perumusan tujuan (goal formulation)
5.       Fleksibilitas (flexibility).
6.      Mufakat (consensus).
7.      Kesadaran kelompok (process awareness)
8.      Evaluasi yang terus menerus (continual evaluation) 

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan, agar keterampilan sosial siswa dapat berkembang dengan baik dalam mata pelajaran Sosiologi, maka hal itu tergantung pada : 

1.      Interaksi atau individu dalam suatu kelompok, yaitu bisa terlaksana apabila individu dalam kelompok telah dibekali dengan berbagai keterampilan sosial di mana salah satunya adalah: cara berbicara, cara mendengar, cara memberi pertolongan, dan lain sebagainya; serta 
2.      Suasana dalam suatu kelompok, yaitu suasana kerja dalam kelompok itu hendaknya memberi kesan semua anggota, bahwa mereka dianggap setaraf (equal), khususnya dalam pengembangan keterampilan sosial. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About