Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 12 April 2014

makalah landasan pendidikan


LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Matakuliah
Landasan Pendidikan
Dosen Pengampu : Marzuki Mahmud, M.Pd



Oleh:

KELOMPOK 9

Diah Fajriah Syafa’ati Majid                                  1112015000008
Mega Dhaniswara Arifa                                          1112015000019
Ryan Arpan Ansori                                                  1112015000065
Nurwidi Oktaria                                                       1112015000076
Fakhrurozi                                                                 1112015000095
Dessy                                                                         1112015000105
Muhammad Iqbal Muharram                                  1112015000107

PROGRAM STUDI EKONOMI-AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai.
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini.
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bisa berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adalah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adalah dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda.
Pengambil alihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman.
Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak mengajarkan kepada kita untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan politik nasional dan internasional, perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan peran yang dimainkan bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak mendorong kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi landasan historis pendidikan nasional Indonesia?
2.      Bagaimana Sejarah Pendidikan di Dunia?
3.      Bagaimana Sejarah Pendidikan di Indonesia?
4.      Apa implikasi konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis ini?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui apa itu landasan pendidikan historis
2.      Mengetahui serta memahami tentang Sejarah Pendidikan Dunia.
3.      Mengetahui serta memahami tentang Sejarah Pendidikan Indonesia.
4.      Mengetahui konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Historis
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala kejadian dalam alam ini, termasuk hal-hal yang dikembangkan oleh budidaya manusia. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya pada masa lampau.[1]
Generasi muda dapat belajar dari informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.
Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem pendidikan kolonial.[2]
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif.[3] Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan semenjak jauh sebelum kita mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh bermacam-macam corak. Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan sistem politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran yang hampir sama tentang pendidikan, yaitu pendidikan diarahkan pada optimasi upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa.[4]
Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia.[5]
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau. Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.[6]
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang.[7] Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
B.     Sejarah Pendidikan Dunia
1.      Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis.[8] Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan.[9]
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
a.       Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran,
b.      Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
c.       Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan,
d.      Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
e.       Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
f.       Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
g.      Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar.[10]
2.      Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme.[11]
3.      Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam).[12] Naturalisme menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri.[13]
4.      Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
a.       Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
b.      Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak yang melalui observasi dan eksperimen.[14]
c.       Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
d.      Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal.[15]
5.      Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).

Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
a.       Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
b.      Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
c.       Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I.[16]
6.      Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte.[17]
7.      Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey. Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial.[18]
C.     Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka.[19]
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1.      Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut.[20]
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha.[21]
2.      Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan.[22] Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[23]
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau.[24]
5.      Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan.[25]
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605.[26] Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan.[27] Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama.[28]
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602.[29]
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme.[30]
6.      Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda.[31]
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka.[32]
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia.[33]
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan. Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya.[34]
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka.[35]
7.      Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia
.
8.      Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
9.      Zaman Orde Lama
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material.
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi.[36]
10.  Zaman Orde Baru
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.[37] Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan.[38]
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar.[39] Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat.[40]
9.      Masa Refomasi
Sebelum memulai uraian tentang masa reformasi, ada baiknya mengkaji kembali masa Pembangunan secara global agar uraian bisa bersambung dengan baik. Masa Pembangunan yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir pada tahun 1998 ditandai dengan hal-hal berikut : (1) tampak ada semacam rezim yang dapat melakukan hampir semua yang mereka inginkan, karena hampir tidak ada orang yang berani melakukan pertentangan, (2) rezim ini memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu Golkar, (3) sehingga tampak tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu.
Begitu orde baru jatuh pada tahun 1998, tampak masyarakat seolah-olah meledak kegirangan karena merasa belenggu yang mengikat mereka sudah hilang. Mereka merasa bebas, bebas sebebas bebasnya seperti burung baru lepas dari sangkarnya. Mereka menyerukan reformasi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Demikianlah pada awal reformasi ini lebih banyak tampak tindakan menuntut kebebasan dibandingkan dengan program reformasiitu sendiri. Seolah-olah bangsa ini melakukan inovasi tanpa program yang jelas.
Reformasi pada awal ini lebih banyak bersifat mengejar kebebasan. Demotrasi-demontrasi sering terjadi untuk menuntut keadilan, hak, dan pembelaaan diri. Partai-partai politik muncul tanpa dapat dibendung sampai puluhan jumlahnya masing-masing dengan aspirasinya sendiri-sendiri. Kebebasan untuk menikmati budaya dan kesenian asing juga semakin menjadi-jadi. Pemerintah merasa kewalahan untuk membendung budaya yang tidak sejalan dengan budaya bangsa ini. Sampai-sampai orang-orang daerah juga mulai berani bergerak memperjuangkan idenya yang sebelumnya terpendam dalam hati, yang menimbulkan pemberontakan di Aceh, Papua, Ambon dan Poso.
Sementara itu ekonomi semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, penduduk miskin semakin luas yang semuanya memberi peluang untuk berbuat berbagai kejahatan. Korupsi semakin hebat, sangat sulit diberantas, sebab hukum yang bertugas memberantas juga dalam keadaan terinjak-injak. Walaupun gambaran reformasi pada awalnya serba negatif, namun lambat laun keadaan bisa  berubah secara perlahan-lahan. Sistem pendidikan mulai berubah, yang didahului oleh perubahanUndang-Undang Pendidikan. Undang-Undang Pendidikan yang baru menginginkan sistem pendidikan sentralisasi berubah menjadi sistem desentralisasi, hal ini sejalan dengan perubahan sistem pemerintah yang juga menjadi desentralisasi.
Sistem desentralisasi pendidikan belum berada pada tingkat lembaga, kecuali perguruan tinggi, melainkan baru pada tingkat kabupaten atau kota. Hal ini disebabkan oleh kemampuan personalia pendidikan belum memadai. Belum cukup waktu untuk membina personalia agar cakap mengoperasikan sistem yang baru ini. Kelemahan ini diperparah lagi dengan adanya pemindahan pegawai pendidikan secara besar-besaran dari pemerintahan pusat ke daerah dan dari provinsi ke kabupaten atau kota. Mereka semua harus ditempatkan, sementara keahlian mereka belum tentu cocok untuk keperluan sistem yang baru ini.
Pemerintahan juga menciptakan kelompok-kelompok masyarakat yang independen atau bebas untk membantu pendidikan agar mampu mandiri. Kelompok-kelompok itu ada ditingkat pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota yang disebut Dewan Pendidikan. Sedangkan kelompok sejenis yang bertugas membantu sekolah disebut Komite Sekolah. Jadi, kelopok-kelompok bebas ini merupakan partner kerja sama antara kantor dan lembaga pendidikan dengan masyarkat setempat.
Disamping itu pemerintah juga mengubah istilah pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah menjadi pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal. Mungkin maksudnya agar macam-macam pendidikan dapat ditangani secara lebih intensif. Sebab diyakini ketiga jalur pendidikan itu memegang peranan yang sama pentingnya bagi perkembangan peserta didik dan warga belajar. Pendidikan nonformal sangat berperan dalam mengembangkan keterampilan warga belajar untuk mampu bekerja di masyarakat. Sementara itu pendidikan informal di masyarakat dan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan afeksi atau kepribadian, sikap, moral dan mental anak-anak. Namun dalam kenyataan pendidikan nonformal bau ditangani sedikit dan pendidikan informal hampir belum tersentuh oleh ahli-ahli pendidikan untuk dikembangkan.
Secara konsep sistem desentralisasi pendidikan memang lebih baik daripada sentralisasi pendidikan. Sebab sistem yang baru ini kalau dilaksanakan dengan baik akan dapat memajukan daerah masing-masing sesuai dengan kondisi geografis, budaya, kebutuhan, dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan di masa depan. Namun sayang, realisasi cita-cita sistem desentralisasi ini belum tampak secara nyata. Dia baru tampak secara konsep. Mungkin hal ini disebabkan oleh kelemahan personalia pendidikan seperti telah diutarakan diatas. Disamping itu faktor dana pendidikan yang masih kecil, ikut memicu keterlambatan keberhasilan sistem desentralisasi pendidikan ini. Pemerintah dan masyarakat tetap menaruh harapan besar agar kelak dikemudian hari sistem ini dapat menjadi tulang punggung perkembangan bangsa dan negara.
Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga sudah diusahakan, seperti MBS (manajemen berbasis sekolah), Life Skills (lima keterampilan hidup), dan TQM (total quality management). Tetapi nasibnya masih sama dengan wujud desentralisasi pendidikan, yaitu mash lebih besar penampakan konsep daripada pelaksanaannya. Hal ini juga disebabkan oleh dua kelemahan utama tersebut diatas, yaitu kekurangmampuan personalia dan kekurangan dana.
Namun, bangsa Indonesia masih sangat beruntung karena kesadaran masyarakat untuk beragama masih tinggi. Dimana-mana tampak masih banyak orang melaksanakan ibadah, agama apapun yang mereka anut. Dalam pendidikan agama juga sudah tampak ada perkembangan yang menggembirakan. Beberapa daerah sudah mengubah paradigma pendidikan agama. Kalau dahulu penekanan dan penilaian pada penguasaan materi, maka kini bersama-sama dengan pendidikan afeksi yang lain seperti PPKn, Pancasila, dan sebagainya menekankan pada perilaku anak-anak pada setiap hari. Perilaku ini dinilai dan dimasukkan ke dalam raport. Pendidikan afeksi ini tidak hanya dilakukan oleh guru Agama, guru PPKn termasuk Pancasila, tetapi juga oleh semua guru pada setiap kali mereka mengajar. Pada setiap ada kesempatan yang tepat pendidikan afeksi ini ditanamkan kepada anak-anak.
Sejalan dengan jatuhnya Orde Baru, Penataran P4 juga mulai hilang. Sebab :
1)      Walaupun orang berkali-kali ditatar P4 perilaku mereka tetap tidak berubah, karena tekanan penataran adalah pada penguasaan materi, afeksi sama sekali tidak diperhatikan, dan
2)      P4 pada hakikatnya adalah wujud indoktrinasi karena petugas dan pengikut penataran tidak boleh menyimpang sedikitpun dari buku pintar itu. Tidak ada kesempatan mengembangkan kreativitas dan wawasan.
Karena tekanan tidak ada dan indoktrinasi sudah hilang, maka demokrasi pun mulai berkembang dikalangan masyarakat. Setiap organisasi apapun sifat dan bentuknya berusaha menerapkan demokrasi dalam praktik sehari-hari, walaupun masih ada beberapa yang bertahan pada sistem paternalis karena tradisi dan karismatik ketuanya. Para anggota orgnisasi diberi kesempatan mengeluarkan pendapat, keputusan-keputusan diambil secara demokratis, dan pemilihan pejabat-pejabat baru juga dilakukan secara demokratis. Puncak perkembangan demokrasi dapat dilihat dari keberhasilan pemilihan umum dan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Proses pemilihan itu berlangsung aman, lancar, dan sukses dengan tidak ada rintangan yang ada berarti.
Kelemahan-kelemahan masa reformasi sampai saat ini adalah sebagai berikut :
1)      Ekonomi bertambah terpuruk, walaupun pemerintah tetap memprioritaskan pembangunan ini. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga BBM.
2)      Korupsi masih banyak terjadi walaupun pemerintah berusaha keras untuk memberantasnya.
3)      Hukum belum benar-benar ditegakkan.
4)      Kekacauan tampak meluas, terutama di kota-kota besar, berbagai macam demontrasi terjadi.
5)      Terorisme dan narkoba juga belum bisa dibersihkan, walaupun pemerintah sudah berusaha keras membasminya.
Namun demikian, masa reformasi ini banyak juga aspek positifnya seperti :
1)      Sistem desentralisai pemerintahan dan pendidikan mulai dibangun.
2)      Nilai-nilai keagamaan tetap terjunjung tinggi.
3)      Demokrasi pada banyak sektor mulai menampakkan diri.
4)      Pemberontakan-pemberontakan di daerah bengangsur-angsur dapat diatasi.
5)      Pemilihan langsung oleh rakyat mulai dan dapat terlaksana.[41]
D.    Implikasi Konsep Pendidikan
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:

1.      Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu:
a.         Mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik.
b.         Mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis.
c.         Memberi kebebasan kepada anak dalam mengembangkan semua aspek dirinya secara wajar.
d.        Mengembangkan bakat masing-masing.
e.         Mengemabangkan aspek kemanusiaan.
f.          Mengembangkan rasa kebangsaan dan aspek kemasyarakatan.
g.         Membuat anak bisa hidup mandiri.
h.         Membuat anak menghargai dan bersedia dengan kasar.
2.      Proses belajar mengajar dan materi pelajaran diharapkan :
a.         Materi pelajaran sesuai dengan perkembangan anak
b.         Belajar dengan alat-alat peraga
c.         Latihan dipandang penting disamping pemahaman
d.        Guru harus mengabdi untuk anak-anak
3.      Melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa.
4.      Memberikan pelajaran dalam bentuk tugas-tugas.
5.      Khusus dalam bidang keilmuan :
a.         Anak-anak harus aktif mencari sendiri
b.         Dicari di lapangan.
c.         Dengan metode induktif.
6.      Pendidikan Agama, nilai-nilai kebudayaan termasuk semangat 45 perlu diintensifkan. Hal itu tidak cukup diberikan dalam bidang studi saja, melainkan harus diperluas kepada bidang-bidang studi lain secara integratif. Dengan demikian bahwa ciri utama pendidikan di Indonesia adalah keseimbangan antara aspek materiil dan spiritual yang akan tercapai.
7.      Proses pendidikan diupayakan mengacu kepada perbedaan individual anak-anak.
8.      Demokratisasi dalam pendidikan yaitu semua anak mendapat hak yang sama untuk belajar.
9.      Pendidikan pada era globalisasi haruslah berintikan pada pengenmbangan ilmu teknologi.
10.  Inovasi harusbersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di Indonesia, bukan berdasarkan konsep-konsep dari dunia Barat. Sejumlah inovasi diharapkan bermuara pada terbentuknya konsep atau teori pendidikan yang bercirikan Indonesia.
11.  Tanggung jawab bersama tentang pendidikan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah belum terealisasi secara keseluruhan.
12.  Pendidikan dipandang penting untuk memajukan negara.
13.  Kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah harus menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
14.  Desentralisasi pendidikan tetap diperlukan.[42]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang.



[1] Pengertian Landasan Historis : Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[2] Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New Role for Higher Education Institutions. Paris: UNESCO.
[3] Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
[4] Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
[5] Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
[6] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA

[7] Pidarta, 2007: 110
[8] Pidarta, 2007: 111-114
[9] Mudyahardjo, 2008: 117
[10]  ibid.: 111-114
[11]  ibid.: 114-115
[12]  ibid.: 115-116
[13] Mudyaharjo, 2008: 118
[14] Pidarta, 2007: 116-200
[15] Mudyaharjo, 2008: 114
[16] Pidarta, 2007: 120-210
[17] ibid.: 121
[18] ibid.: 121-24
[19] ibid.: 125
[20] Mudyahardja, 2008: 215
[21] ibid.: 217
[22] ibid.: 221
[23] ibid.: 223
[24] ibid.: 228
[25] Mudyahardjo, 2008: 242
[26] Nasution, 2008: 4
[27] Mudyahardjo, 2008: 243
[28] Nasution, 2008: 4
[29] Mudyahardjo, 2008: 245
[30] Nasution, 2008: 4-5
[31] ibid.: 3
[32] ibid.: 8
[33] ibid.: 10-13
[34] ibid.: 16-17
[35] Pidarta, 2008: 125-33
[36] Mudyahardjo, 2008: 403
[37] Ibid.: 422, 433
[38] ibid.: 434
[39] Pidarta, 2008: 137-138
[40] Pidarta, 2008: 141
[41] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[42] Pirdata, Made.2009 Landasan Kependidikan. Jakarta : PT RINEKA CIPTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About